"Wih, enaknya sekarang hanimun teruuuus..."
Jujur, gue udah kenyang sama komentar2 kaya' gini semenjak gue memutuskan untuk menyekolahkan Aya menyusul ke sekolah yang sama dengan Adel, kakaknya.
Beragam komentar bertubi2 diarahkan ke gue. Mulai dari yang memuji macam, "Subhanallah, mulia banget niatmu menyekolahkan keduanya ke pesantren, semoga Allah mencukupkan pahala bagi kalian berdua" sampe komentar dajjal kaya' gini; "Kok kamu tega sih menyekolahkan mereka di sana dan sanggup hidup jauh dari anak?"
Heh!
Ibu mana yang sanggup hidup jauh dari buah hatinya? Lo pikir yang punya hati nurani cuma lo doang apah...! Lo pikir menyekolahkan anak ke pesantren yang mengharuskan para santrinya untuk tinggal di asrama itu tergolong orang tua yang tega, hah?
Nih ya... bagi gue, yang pantes disebut tega itu adalah orang tua yang mengijinkan anaknya yang masih di bawah umur pergi ke sekolah dengan mengendarai sepeda motor. Bagi gue, itu sama aja dengan menghantarkan nyawa si anak ke jalan raya! Nah, bukankah sikap orang tua yang demikian lah yang lebih pantas disebut tega?
Ah, gue tau!
Pasti karena saat ini masih banyak orang yang berpikiran kalo kehidupan pesantren itu terlalu kolot dan kental dengan fanatisme makanya banyak orang tua yang enggan menyekolahkan anak mereka ke sana. Bahkan sadisnya lagi mereka mencap orang2 tua yang berani mengambil langkah untuk menitipkan anak2 mereka untuk dididik di pesantren sebagai orang tua yang tega. Ah...(⌣_⌣!!)
Pernah dalam suatu kesempatan gue diajukan pertanyaan seperti ini oleh seorang teman, "eeemm...jadi di pesantren itu belajarnya apa aja? apa di sana juga diajarkan pelajaran umum macam matematika, fisika, kimia dan lain2?". Woy... emang lo pikir yang namanya pesantren cuma belajar baca Al Qur'an, memahami fiqih, aqidah akhlak dan hadist melulu ampe ngelotok gituh?
Gini nih! males sebenernya gue ngomong sama orang yang pikirannya sempit kaya' gini... Sempet beberapa detik gue dilema mau ngejawab apa gak. Kalo gak gue jawab, kok gue ngerasa kasihan sama dia... Pada akhirnya gue menjelaskan pada teman gue tersebut secara detail seakan dia selama ini tinggal di dalem sebuah gua sejak bumi ini diciptakan.
Justru itu kelebihannya! Di samping pelajaran umum, mereka juga diajarkan ilmu2 agama lebih banyak dari pada yang bisa mereka dapat dari sekolah reguler biasa sehingga ilmu dunia dan akhirat bisa berjalan beriringan. Kedua ilmu tersebut bersinergi dalam nalar mereka. Malah, keahlian mereka semakin bertambah dengan adanya peraturan yang mengharuskan mereka menggunakan bahasa arab dan bahasa inggris sebagai bahasa keseharian mereka selama di sana.
Kalo ngomongin tentang fanatisme, tiba2 gue jadi teringat dengan percakapan gue dengan seorang sopir taksi yang mengantar gue dari sebuah hotel di denpasar menuju pantai kuta di bali setahun yang lalu. Saat itu gue dan sopir taksi yang ramah asik ngobrol sepanjang perjalanan menuju pantai tersebut. Gue menyatakan keterkaguman gue akan keindahan alam sampe religiusnya kehidupan masyarakat bali.
Namun di tengah obrolan si sopir taksi [pura-pura] terkejut ketika gue bilang kalo gue telah memiliki dua orang putri yang telah beranjak remaja. Kemudian dia bertanya mengapa gue gak membawa serta kedua anak gue tersebut pada waktu itu. Setelah gue jelaskan bahwa kedatangan gue dan suami, yang siang itu sedang menghadiri meeting di denpasar, adalah untuk urusan pekerjaan. Lalu dia bertanya lagi dengan siapa anak2 saya tinggalkan di jakarta. Gue lihat perubahan sikap si sopir taksi seketika gue bilang kalo anak gue bersekolah di pesantren. Kemudian dia bilang begini ke gue, "Yah, mudah2an aja nanti setelah lulus sekolah kemudian jalan2 ke bali bukan untuk ngebom bali".
Deg! Jantung gue seketika seperti pengen loncat keluar. Anak gue? Ngebom bali? Kedua pertanyaan itu lantas bermunculan di benak gue. Gue berusaha menangkan diri dengan melipat tangan di depan dada. Ada rasa yang musti gue redam saat itu. Maka gue biarkan telapak tangan gue mencengkram erat kedua lengan gue kiri dan kanan meskipun sebenernya kedua telapak tangan ini lebih seneng jika diberi kebebasan untuk mencengkram batang leher si sopir taksi dari belakang. Rasanya pengen banget meluruskan cara pandang si sopir taksi yang keliru terhadap institusi sebuah pesantren. Akan tetapi karena pantai yang gue tuju sudah di depan mata, gue pun akhirnya cuma sempet bilang ke dia kalo dia keliru jika menganggap bahwa segala tindak kekerasan merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di pesantren. Etapi gak cuma itu kok, gue juga sempet ngebanting pintu mobilnya saat keluar dan gak ngasih tips sepeser pun buat dia. Puas gue!! Hahaha.... **tertawa dzalim**
Tapi gue gak bisa menyalahkan si sopir taksi seratus persen. Dia begitu mungkin karena dia berbeda keyakinan dengan gue. Mungkin juga karena perasaannya masih terluka mengingat tanah kelahirannya yang indah pernah dihancurkan dan diluluhlantakan. Sehingga dia mengambil kesimpulan jika semua lulusan pesantren itu kerjanya cuma ngebom bali doang. Hanya satu yang bisa gue katakan pada orang2 yang punya pikiran seperti ini, not every moslem is a mukmin, and not every mukmin is right.
Itu.
Cara pandang negatif seperti contoh gue di atas itu bisa gue maklumi jika hal tersebut gue temui pada orang2 yang berbeda keyakinan dengan gue, tapi kalo sesama muslim? hmm.... Sebuah contoh kasus, ketika seorang ibu menakut2i anaknya yang dalam kesahariannya sulit diatur dengan kata2 sakti seperti, "Heh, kamu! [manggil nama anaknya] kalo kamu nakal gak bisa dibilangin, nanti ibu sekolahin kamu ke pesantren! MAU?!" [dengan mengacungkan telunjuk di depan muka si anak sambil pasang ekspresi wajah mengancam]. Yasalaaaaammm.... gue bener2 terhenyak. Seburuk itu kah citra sebuah pesantren di mata umat islam sendiri? Apakah memang tepat mengirim anak yang menurut orang tua susah diatur ke pesantren untuk dididik di sana?.
Di satu sisi gue setuju bahkan sangat setuju ketika orang tua memutuskan untuk menyekolahkan anak2nya ke pesantren demi menambah generasi muslim yang lebih baik. Tapi jika orang tua mengirim anak2nya ke pesantren dengan alasan mereka nakal dan susah diatur, menurut gue akan lebih baik jika anak2 tersebut tumbuh dalam didikan orang tuanya masing2 dan tumbuh di kehidupan keluarga yang ideal, bukan dengan mengirim mereka ke pesantren dan berharap ketika mereka kembali ke rumah, mereka kemudian berubah menjadi ustadz dan ustadzah.
Sedang alasan bagi gue pribadi mengapa memilih menyekolahkan Adel dan Aya ke pesantren ketiga terbaik dari sepuluh pondok pesantren terbaik seindonesia adalah karena gue merasa memiliki keterbatasan dari sisi keilmuan tentang agama islam sehingga gue tak bisa mengajarkannya ilmu tersebut kepada mereka. Dan gue juga punya harapan bisa memberikan lingkungan yang baik secara islami bagi Adel dan Aya hingga mereka berdua kelak menjadi anak yang sholehah, mandiri dan bermanfaat buat masyarakat. Selain itu, jujur, ada rasa ngeri ketika gue melihat pergaulan remaja sekarang. Sumpedeh, kalo di indomaret dijual lotion yang bisa melindungi Adel dan Aya dari dampak2 negatif pergaulan remaja tersebut, udah pasti gue yang duluan beli! Dari pada gue harus tersiksa karena terpisah dari mereka.
Pada akhirnya, gue gak maksa kalian harus sependapat sama gue kok. Gue hanya mencoba menuliskan apa yang selama ini gue rasakan dan mencoba menjelaskan sedikit tentang institusi pesantren berdasarkan pengetahuan gue yang gak ada apa2nya ini.
Jadi...
Kata siapa gue memilih menyekolahkan Adel dan Aya ke pesantren sebagai pengalihan tanggung jawab?
Kata siapa gue mengirim mereka ke sana biar gue punya kebebasan jalan2 sendiri tanpa punya beban?
Kata siapa mereka gue tempatkan disana agar gue terhindar dari kewajiban untuk mengajarkan mereka belajar tiap malam?
Kata siapa gue sesungguhnya bahagia karena bisa puas maen angry bird saban malem?
Kata siapaaaa...??
........tau ajah tuh orang!