"Maaf Mbak, jam berapa ya?" tanya seorang perempuan yang beberapa menit lalu duduk tepat di samping gue sambil mendekap bocah perempuan dalam pangkuannya yang kalo gue terka berusia dua tahunan saat gue sedang duduk di undakan anak tangga tepat di depan pintu masuk utama pusat perbelanjaan Blok A Tanah Abang. Saat itu gue sedang melepas lelah sambil menunggu jemputan suami setelah sebelumnya keliling Blok A untuk membeli beberapa keperluan.
Reflek gue mengangkat pergelangan tangan kanan gue dan menarik sedikit lengan kaos yang menutupi arloji dengan tangan kiri. Dengan jemari sedikit mengepal, kemudian gue menyodorkan sedikit punggung tangan kanan gue ke arah perempuan tersebut agar dia mudah melihat angka yang tertera disana. Gue yakin, jika ada orang yang memperhatikan gerak gue saat ini dari kejauhan, pasti orang itu akan menerka kalo gue sedang pamerkan arloji pemberian seorang yang istimewa pada perempuan yang duduk di samping gue tersebut. "Setengah dua kurang, mbak" kata gue kemudian menarik kembali tangan gue kepangkuan setelah perempuan tadi melirik sebentar ke arah arloji yang gue pake.
"Makasih ya, mbak" ucap perempuan itu yang kemudian membuka dua kancing teratas kemeja yang dipakainya lantas menyusui bocah perempuan dalam pangkuannya tersebut.
Gue pun lantas meneruskan menyantap dua buah donat sisa semalam dan segelas air yang gue bawa dari rumah. Dua jam keliling2 tadi bikin gue bener2 kelaperan sekarang.
Usai suapan terakhir dari dua donat yang saat ini sudah berpindah tempat dari kotak bekal ke perut gue itu, kemudian perempuan yang masih duduk di samping kanan gue tadi bertanya lagi.
"Mbak, kalo ke Thamrin City arahnya ke sana ya?" tangan kanan perempuan itu bergerak menunjuk arah jalan KH. Mas Manyur yang dari tempat kami berdua duduk tetap dapat terlihat membentang dari kanan ke kiri.
"Hmmpp... iya, mbak" buru2 gue mengelap bibir dan menutup rapat kembali tempat air minum yang kini isinya telah kosong. "gak jauh kok, kira2 sekilo udah kelihatan gedungnya di sisi kiri jalan".
"Naek angkot paling cuma dua rebu ya, mbak?" tanyanya lagi "trus naeknya mobil apa yah?"
"Waduh, saya kurang tau, mbak..." gue menatap mata perempuan itu, semoga dia bisa lihat kalo gue emang bener2 gak ngerti harus naek angkutan nomor berapa untuk mengarah kesana dan bukan karena gue gak mau ngasih tau. "paling ongkosnya yah segitulah... karena dekat" lanjut gue lagi.
Perempuan tadi kembali terdiam. Dan gue menyibukan diri dengan menelepon suami untuk menanyakan keberadaan posisinya yang ternyata masih terjebak macet di daerah Senen.
Setelah memencet tombol off kemudian memasukan kembali ponsel gue ke dalam tas, perempuan yang belakangan gue tau bernama Rini tersebut kembali membuka percakapan. "Saya lagi nyari kerjaan, mbak. Tadi di atas ada dua toko yang buka lowongan sih, tapi saya gak boleh bawa anak. Ini saya mau nyoba ke Thamrin City, kali aja saya dapet kerjaan di sana".
Dan sebagaimana orang lain, gue pun hanya bisa bilang "Ooo...." ketika mendadak diajak ngobrol sama orang yang gak kita kenal.
Tapi jujur, tau kenapa gue gak curiga sama sekali dengan perempuan ini. Naluri gue bilang kalo perempuan ini orang baik. Beda. Beda banget dengan pengalaman gue yang udah2. Gue pernah punya pengalaman buruk soal yang beginian. Awalnya ngumbar cerita kaya di atas tapi ujung2nya minta duit.
Ingatan gue tiba2 terlempar beberapa tahun ke belakang. Saat itu gue sedang jalan sendirian kemudian berpapasan dengan seorang lelaki yang usianya sekitar 18an gitu deh. Kebetulan sore itu jalan yang gue lalui sepi banget. Laki2 itu kemudian berjalan menghampiri gue untuk pura2 bertanya arah suatu tempat. Liat penampilan laki2 itu yang kaya' orang gak mandi seminggu, rambut awut2an, mata merah dan badan kuyu begitu, lantas aja firasat gue bilang kalo nih orang gak bener. Ternyata betul. Ujungnya dia minta duit ke gue. Jumlahnya gak besar sih, dua puluh ribu perak kalo gue gak salah inget. Walau saat itu sebenernya gue jiper karena nyadar gak bakal ada yang bisa nolong gue kalo gue sempet diapa2in sama dia tapi tetep gue keukeuh gue gak mau ngasih duit yang dia minta ke gue. Setelah gue bilang "Gak ada!" sempet2nya dia ngacungin jari tengah tangan kirinya ke arah gue sebelum pergi. Igh! bodo amat... gak ngaruh meski lo ngacungin dua jari tengah lo ke gue, brew...!
"Anak saya tiga, mbak. Sebagai orang tua, saya kan tetep pengen anak2 saya sekolah ampe lulus meski suami saya udah gak ada" ujar perempuan itu menyadarkan lamunan gue "makanya saya pengen cari kerja, mbak".
Gue manggut2.
Sampe sini, yang ada dibenak gue waktu itu adalah perempuan ini adalah korban perceraian dari lelaki tidak bertanggung jawab dan meninggalkan tiga orang anak perempuan kelas tujuh, kelas enam dan si bungsu yang kini sedang menyusu di dekapan ibunya.
"Suami saya meninggal, mbak" ujarnya seakan ingin meluruskan pikiran yang sempat memenuhi benak gue. "kalo suami saya meninggal karena sakit sih saya ikhlas kali ya, mbak... nah ini, suami saya masih seger buger meninggalnya..."
Lho, kok?
Gue tercengang mendengar kalimat dia barusan. Jadi kalo meninggal karena sakit situ baru ikhlas? demikian tanya gue dalam hati. Jadi penasaran nih gue, kenapa dia bisa ngomongnya kaya' gitu. Tapi belum sempat gue melontarkan tanya, perempuan itu melanjutkan.
"Suami saya meninggal ditabrak Afriani tempo hari, mbak" katanya lagi. Matanya menerawang ke depan.
O yang panjang kemudian keluar dari mulut gue sesaat dia menyelesaikan kalimatnya.
Sebenernya gue mau bilang kata2 yang bisa menghibur perempuan itu selain kata O yang panjang tadi tapi gue yakinlah, dia pasti udah kenyang dengan kata2 simpati macam begitu. Yang perempuan ini butuhkan bukan lagi kata2 simpati.
"Masih inget sama kejadian itu kan, mbak? yang di Tugu Tani?" tanya perempuan itu lagi "malah tadi saya sempet liat udah banyak yang naro bunga di tempat kejadian buat peringatan".
Jujur, gue gak ngikutin proses persidang kasus Afriani ini meski melalui berita di tivi atau koran. Jadi berapa tahun vonis yang dijatuhkan dan apa yang menjadi tuntutan keluarga para korban, gue bener2 gak ngerti. Satu2 yang pernah gue ikuti yaitu saat gue ikut2an menghujat tersangka. Saat itu gue ngerasa sah2 aja ikut mencaci Afriani seperti orang2 tanpa gue sadar jika hal yang menimpa Afriani bisa aja terjadi pada diri gue.
Masih cerita perempuan itu, dulu saat suaminya masih hidup, enam ratus ribu penghasilan suaminya sebulan yang bekerja sebagai cleaning service di sebuah perusahaan cukup untuk menghidupi keluarga mereka selama sebulan.
"Tiga ratus rebu buat bayar kontrakan, trus tiga ratus ribu lagi buat biaya hidup sebulan. Itu juga saya masih bisa saya buat dagang kecil2an di rumah". perempuan itu mengelus kepala bocah perempuan yang masih menyusu padanya.
Gue tersenyum mendengar ceritanya. Mungkin kalo lo bisa melihat senyum gue saat itu, lo akan melihat senyum gue gak tulus. Karena saat itu gue bener2 bingung bagaimana gue harus bersikap, harus sedih atau senang.
Lalu gue membayangkan apa yang bisa gue lakukan jika uang enam ratus ribu sebulan itu ada di tangan gue. Yah, paling cuma bisa buat bayar satu tagihan kartu kredit gue. Itu pun minimum payment. Mendadak tenggorokan gue tercekat. Di detik ini gue benar2 merasa bersyukur kalo donat yang gue bawa tadi udah abis gue makan, kalo gak, wah gak kebayang deh gimana seretnya tenggorokan gue saat menelannya.
Ternyata hari gini masih ada yang menganggap uang enam ratus ribu bagi mereka merupakan nilai yang sangat besar. Bahkan bisa menghidupi sebuah keluarga dengan tiga orang anak! Subhanallah... Bertolak belakang banget sama gue yang selama ini selalu merasa gaji pribadi yang gue dapetin di kantor terlalu kecil padahal uang tersebut cuma buat gue pake untuk bayar tagihan2 kartu kredit dan sisanya gue pake buat kepentingan gue sendiri.
"Coba suami saya jadi korban tabrakan anak menteri ya, mbak, kan anak saya bakal dijamin pendidikannya sampe selesai..." perempuan itu kemudian menghela napas.
Sumpah! sebenernya gue gak setuju banget dengan pernyataan perempuan ini. But, I'm sad to say, she is true! Lagi2 gue berusaha mengerti. Ah, mungkin gue akan berkata hal yang sama jika saat ini guelah yang ada diposisi dia.
"Udah ya, mbak... saya duluan. Saya mau coba cari kerja di Thamrin City" perempuan itu kemudian buru2 mengancingkan lagi kemejanya lantas beranjak berdiri. Digendongnya sang bocah perempuan, yang belum sempat gue tau namanya itu disisi kiri bahunya.
"Iya, mbak... saya do'akan semoga cepat dapat kerja di Tamcit yah!" ujar gue lantas ikut berdiri dan menyelipkan dua lembar uang lima puluhan ke tangan bocah perempuan yang sejak tadi tersenyum pada gue.
"Apa ini, mbak?" dia berseru kemudian mengambil uang kertas yang terlipat dari tangan anaknya dan berniat mengembalikannya pada gue "saya cuma mau cerita kok, bukan pengen minta duit".
"Sudah, mbak, terima aja. Itung2 buat ongkos cari kerja" gue tersenyum. Mudah2an kali ini senyum saya bener2 kelihatan tulus.
"Ikhlas nih, mbak?" tanyanya lagi.
Gue mengangguk.
"Ya udah deh, mbak, saya jalan dulu yah".
Kemudian perempuan itu berjalan menjauh di depan saya. Dari balik punggungnya, si bocah kecil yang sejak menyusu tadi mendengarkan percakapan kami, tiba2 melambaikan tangannya ke arah gue dan tersenyum lebar. Gue membalas lambaian bocah perempuan itu. Hingga perlahan perempuan dan anaknya menghilang dibalik kerumunan orang, mendadak gue ngerasa terharu sendiri. Mendadak gue berasa jadi perempuan yang paling bahagia banget di dunia dengan apa yang udah Tuhan kasih ke gue.
Demikian cerita gue sabtu kemarin. Semoga kisah yang gue ceritakan kembali disini bisa membuat gue khususnya makin peka sama kondisi yang ada di sekeliling gue. Bantuan toh tidak harus selalu berupa materi, dengan pelukan atau mendengar cerita seorang yang sedang bermasalah barangkali sedikit banyak bisa meringankan beban orang tersebut. Bukan, gue bukan ingin menggurui kalian. Gue juga masih sering salah dalam bertindak dan bersikap.
Jadi, sekecil apapun itu, gue harap postingan gue kali ini bisa menginspirasi kalian para sahabatku :DD
2 komentar:
Aku sukaaaa baca kisahmu vo....byk pelajarn berharga buatku...*bighug*
terima kasih, cantik! semoga bisa menginspirasi yah! :)
Posting Komentar