Pages

Kamis, 11 Maret 2010

ERISA



Bunyi halus dari messenger menarik perhatian saya sore tadi. Kotak chat terkuak di layar monitor. Sebuah pesan pendek muncul berkedip di ujung kanan bawah layar. Dari seorang teman bernama Sry. Mengabarkan bahwa Erisa gadis kecil anak teman alumni SMA saya telah meninggal dunia.

Pesan demi pesan baru muncul. Jantung saya berdegup lebih kencang. Jari saya cepat menekan tuts keyboard. Bertanya seakan tak percaya. Seketika air mata saya pecah saat membaca bait demi bait kata balasan yang masuk ke kotak chat saya.

Erisa gadis kecil berusia 10 tahun penderita leukemia. Dari foto yang sempat saya lihat, Erisa adalah gadis kecil yang manis. Wajahnya pucat dengan kepala botak karena efek kemoterapi yang harus dia jalani. Namun keceriaan wajah kanak-kanaknya masih terpancar dari matanya. Betapapun parah sakit yang dia derita wajahnya tetap damai. Melihat itu saya pun jatuh sayang, meski saya belum lagi tuntas mengenalnya.

Ingatan saya kembali pada 2 hari yang lalu saat saya membungkus buku-buku cerita anak yang hendak saya paketkan hari itu untuk Erisa. Beberapa hari sebelumnya saya sempat berbincang dengan Sry melalui chatting, darinya saya tahu bahwa Erisa senang sekali membaca. Oleh karennya saya menawarkan diri untuk mengirimkan buku-buku bacaan milik Adel dan Farra yang semakin hari semakin memenuhi rak buku rumah kami.

Sebenarnya buku-buku tersebut sudah lama ingin saya kirimkan untuknya tak lama setelah percakapan saya dan Sry, namun rasa malas yang lebih dominan membuat saya menunda mengirimkan buku-buku tersebut. Akhirnya buku-buku tersebut tiba sehari sebelum Erisa meninggal dunia dan belum sempat dibaca olehnya. Terasa ada sesal. Dan bagi saya, hal ini sungguh sulit untuk saya maafkan.

Mata saya kian mengabur membaca pesan chat yang masuk. Perasaan saya campur aduk. Bisa saya bayangkan bagaimana perasaan orang tua Erisa saat ini. Saya jadi teringat peristiwa 3 tahun yang lalu dimana saat itu Farra sakit.

Farra, gadis kecil kami sakit. Matanya layu dan kehilangan cahaya. Panasnya tinggi sekali. Di mobil, dalam perjalanan menuju dokter anak langganan kami, saya memeluk Farra yang tergolek lemah. Bahkan tangan saya terasa panas saat mendekapnya. Saya pandangi wajah mungil Farra lekat-lekat. Saya cium pipinya yang merah karena demam.

Dokter menyarankan agar Farra tes darah karena mencurigai gejala demam berdarah yang saat itu sedang mewabah. Ternyata hasilnya Negatif. Lalu Farra sembuh. Tapi beberapa hari kemudian panas tinggi itu kembali datang hingga kami harus bolak balik kedokter beberapa kali. Begitu juga dengan Farra, harus rela diambil darah hingga berulang kali. Dan lagi-lagi hasilnya negatif.

Hingga akhirnya, suatu malam Farra kembali panas tinggi dan kami harus membawanya kembali ke dokter. Kali ini dokter menyarankan agar darah Farra di tes untuk melihat kebekuan darahnya.

Ketika kami minta penjelasan, dokter mengatakan kemungkinan terburuk jika hasil laboratorium tes kebekuan darah tersebut positif adalah KANKER DARAH.

Sungguh, waktu itu saya meminta kepada Allah, semoga Farra hanya demam berdarah saja dan bukan yang lain.

Detik demi detik terasa lama saat kami menunggu panggilan di ruang tunggu dokter. Amplop putih berisi hasil tes kebekuan darah terasa berat ditangan saya. Setiap sendi di tubuh saya rasanya lemas. Seolah tak sanggup menopang tubuh. Semoga bukan itu, ya Allah...

Saya membeku di ruang periksa sementara dokter membuka dan membaca hasil laboratorium. Alhamdulillah, berkali-kali saya ucapkan syukur kepada Allah karena hasilnya tes darah itu negatif.

Namun seminggu kemudian Farra kembali panas tinggi. Kembali kami mengunjungi dokter dan menjalani tes darah. Kali ini hasilnya Farra positif demam berdarah. Selama seminggu Farra harus di rawat di rumah sakit.

Hati ibu mana yang bisa tanpa air mata menyaksikan gadis kecilnya terbaring lemah dengan jarum infus di lengan kirinya. Jujur, saya tidak siap membayangkan kehilangan Farra dan suasana rumah sakit semakin menguras perasaan saat itu.

Sudah 3 tahun berselang, tapi masih saja air mata mengambang setiap mengenang apa yang kami lalui.

Saya mengusap tetes air mata yang terlanjur turun. Kesedihan ini tak pantas jika saya melihat ketabahan orang tua Erisa dalam mengikhlaskan apapun takdir Erisa kelak. Sungguh mereka orang tua yang membanggakan.

Erisa sayang, saya memang tidak mengenalmu. Namun setiap kali saya membayangkan bagaimana pilunya kedua orang tuamu saat menemukan kenyataan bahwa kau harus pergi, saya larut dalam tangis. Mereka menyayangimu. Mereka ingin terus bersamamu, tapi mereka juga tahu, Allah lebih mencintaimu. Dan mungkin inilah saatnya Allah memintamu kembali..

Ya kejadian ini mengingatkan saya akan banyak hal yang harus saya syukuri. Saya masih memiliki kedua putri saya, itu yang terpenting. Saya masih bisa memeluk, mencium, bermain dan melakukan banyak hal dengan mereka.



Mengenang Erisa
Jakarta, 11 Maret 2010 Pukul 11.00 PM

0 komentar:

Web Statistics