Pages

Kamis, 18 Februari 2010

Senyum Itu Ibadah



Farra memang kerap menulis kalimat-kalimat cinta dan semangat kepada saya. Putri saya yang satu ini memang bagai tak pernah kehilangan ide.

Sore tadi ketika tangan saya merogoh tas kerja saya demi mendapatkan dompet receh untuk membayar pengamen yang mampir menyumbangkan suara di depan rumah kontrakan kami, tak sengaja tangan saya meraba kertas sobekan buku tulis yang sudah agak lusuh. Seingat saya, beberapa hari ini saya tak pernah menyimpan sobekan kertas di dalam tas kerja.

Kertas itu terlipat empat bagian. Disana tertulis besar-besar; B A C A disalah satu sisi lipatannya. Dari tulisan tangan si penulis, saya paham benar bahwa tulisan itu di tulis tangan oleh salah satu putri saya. Entah Adel atau Farra.

Setelah memberikan sedikit receh kepada pengamen yang belum menyelesaikan lagu yang dibawakannya, sedikit tergesa, sayapun segera kembali ke kamar dengan kertas lusuh yang sedari tadi saya pegang.

Perlahan saya buka lipatan kertas lusuh tersebut. Ada tulisan disana. Tak banyak memang. Demikian tulisnya;

Bunda, senyum dong. Jangan cemberut melulu. Bunda pernah dengar enggak, senyum itu ibadah. Makanya jangan marah dan bete ya, Nda. Janji ya, Nda. Oke. Janji itu harus ditepati !

Lalu diakhiri dengan tanda tangan sekedarnya dan nama AYA di bawah tanda tangan tersebut. AYA itu adalah nama panggilan mesra kami kepada Farra.

Farra memang kerap menulis kalimat-kalimat cinta dan semangat kepada saya. Putri saya yang satu ini memang bagai tak pernah kehilangan ide. Apa yang di tulisnya selalu baru, selalu segar, bagai sisa embun di garang siang. Tidak terlalu basah namun menyegarkan.

Bukan sekedar kalimat cinta saja, namun sering pula Farra menyelipkan gambar-gambar hasil karyanya di dalam tas kerja, di tempel di dinding kulkas, di setiap tempat dan kesempatan tak terduga.

Seketika itu saya ingat kejadian dua hari kemarin. Dimana saat itu perasaan saya sedang tidak menentu. Sangking tak menentunya perasaan di hati, tak saya hiraukan perasaan anak-anak dan suami. Ternyata Farra sangat peduli dengan sikap uring-uringan saya. Dia selipkan kalimat-kalimat cintanya buat saya dengan harapan saya membacanya tak lama setelah dia letakan di tas kerja saya.

Ada air mata yang menitik setelah saya menyadari bahwa saya terlambat membaca pesan yang dituliskan Farra untuk saya. Seandainya saya segera menemukan kertas lusuh itu, mungkin anak-anak dan suami tak perlu menderita imbas dari sikap saya tersebut.

Ada sejuk yang tiba-tiba menyapa hati.

Saya tidak bisa membayangkan jika sampai hari inipun saya tak mendapati kertas lusuh tulisan Farra tersebut. Mungkin saya masih tetap uring-uringan seperti dua hari kemarin. Saya terus menghitung nikmat Tuhan yang lain. Saya sadar Tuhan telah memberi saya banyak sekali kebahagiaan. Salah satunya anak-anak.

Dari Farra saya diajari bagaimana caranya tersenyum. Ironi memang, karena siang harinya seorang teman chat online saya menertawakan ketika saya katakan bahwa telah dua hari ini saya lupa bagaimana caranya tersenyum.

Saya lipat kembali kertas lusuh pemberian Farra menjadi empat bagian. Dengan senyum tentu saja.



Cileduk, 25 January 2010, 10:14 PM.
Web Statistics