Pages

Jumat, 16 Juli 2010

Ketika Bunda (Sangat) Bete



Rabu, 14 Juli 2010
Pukul 03.03 dini hari

Entah apa yang membangunkan saya pagi ini, tiba-tiba saya terbangun dan sulit untuk kembali memejamkan mata. Seketika kembali benak saya dipenuhi bayang-bayang dan rasa rindu yang menyesakan dada. Rasa yang beberapa hari ini tak mampu saya redam, sehingga menimbulkan konflik dalam bathin saya, bahkan dalam kehidupan saya.

Saya dapati Aliya tidur disamping kiri saya.
Suami? Entah dimana. Mungkin tertidur di ruang tv atau lebih mungkin dia masih marah dengan sikap saya sore tadi terhadap gadis kecil kami Aliya.

Saya betulkan selimut Aliya yang tersingkap. Saya usap keningnya. Saya pandangi wajah mungilnya yang damai saat tertidur. Teringat kembali perlakuan saya terhadap Aliya sore tadi. Terbayang kembali pelakuan saya padanya beberapa hari ini.


Aliya gadis kecil yang selalu ceria, tak heran jika mulutnya selalu berceloteh dan selalu bertanya. Biasanya saya selalu menyempatkan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang Aliya ajukan. Tapi ketika saya dalam kondisi banyak pikiran seperti sekarang ini, hal itu ternyata menambah pusing kepala. Saya rasakan celotehnya sangat mengganggu saya, apalagi harus menjawab pertanyaan-pertanyaan Aliya yang tak ada habisnya yang sering dilontakan pada saya.

Ah, rasanya menjengkelkan sekali, karena saat ini saya sedang ingin diam dan tidak ingin diganggu dengan pertanyaan-pertanyaan Aliya tersebut. Banyak pikiran yang memenuhi benak saya akhir-akhir ini dan tak kunjung juga ada jawabannya. Seharusnya Aliya ngerti dong, kalau saya tak ingin diganggu. Protes saya dalam hati.

Saya masih ingat betul bagaimana raut Aliya sesaat setelah saya membentaknya dan mengatakan bahwa Aliya terlalu bawel dengan pertanyaannya tersebut. Tampak sekali kekecewaan terpancar dari wajahnya. Dari matanya, ketika Aliya menengadahkan kepala menatap saya, terlihat sekali Aliya terluka atas kata-kata saya.

Saya terhenyak,
Tiba-tiba saya menjadi merasa kurang bersyukur dengan segala nikmat yang telah diberikan Tuhan pada saya. Terutama dengan kehadiran Aliya yang bawel dan cerewet. Saya bagai diingatkan kembali kala Aliya masih balita. Betapa bahagianya saya ketika mendengar ocehan Aliya walau hanya bunyi tanpa arti. Betapa takjub dan terpananya saya ketika Aliya mengucapkan kata pertamanya. Saat itu saya sangat menikmati tahap demi tahap pertumbuhan Aliya dan semua itu merupakan kebahagiaan yang begitu besar.

Saya dekap erat Aliya yang masih tertidur.
Mata saya berembun. Saya menyadari perlakuan saya terhadap Aliya beberapa hari ini sangat buruk sekali. Sepulang kerja, saya hanya menyiapkan makan sore untuk Aliya, selebihnya saya tidak peduli padanya. Saya lebih senang menghabiskan waktu dengan kesendirian dan pikiran-pikiran yang memenuhi benak saya.

Saya menghela nafas,
Rasanya tidak adil, mengapa saya menumpahkan segala rasa kecewa saya pada Aliya. Padahal saya paham sekali, karena sesungguhnya akhir-akhir ini juga merupakan hari yang sulit buat Aliya karena harus berpisah dengan Alifa kakaknya. Lalu, mengapa saya justru acuh terhadap Aliya, disaat Aliya butuh orang yang sangat dia harapkan dapat mengisi rasa sepinya?
Aliya…

Ya, lewat Aliya sepertinya Allah menyelipkan banyak pelajaran buat saya. Dan saya tidak akan lupa, dini hari dimana dalam hening, saya memeluk Aliya sambil berbisik di telinganya,
Bunda, minta maaf ya, Al….!













Web Statistics