Pages

Senin, 26 Juli 2010

Marah atau Sedih?




“Bunda marah sama aku, ya?” tanya Aliya malam tadi ketika saya sedang membaca sebuah buku sambil menemani Aliya belajar di kamarnya.

Saya menghentikan aktivitas membaca dan melihat kearah Aliya. Aliya pura-pura asyik menekuri buku pelajarannya, namun akhirnya Aliya mengangkat wajahnya dan menatap saya.

Saya tatap wajah kecilnya, mata sipitnya, poninya yang jatuh menutupi sebagian wajahnya, bibir mungilnya yang sering membuat saya takjub dengan kalimat-kalimat yang keluar dari sana. Saya menikmati semuanya sambil terus berpikir sesungguhnya kemana maksud pembicaraan Aliya kali ini.



“Memang Bunda terlihat seperti sedang marah?” tanya saya.
Dia mengangguk.
“Bunda diam terus dari kemarin”
Gadis kecil saya menatap dengan mata sipitnya.
“Kalo Bunda marah, Aya sedih. Tapi…”
“Tapi apa?” tanya saya.
“Tapi Bunda lebih sering sedih dari pada marah.”
Saya tersenyum padanya, salut dengan pengamatan dan kesimpulannya.
“Mbak Aya lebih suka Bunda sedih atau marah?”
Tiba-tiba Aliya memeluk saya dan menempelkan kepalanya di dada saya,
“Bingung sih…. tapi Aya lebih suka kalo Bunda marah.” jawabnya tak terduga.
“Kok gitu?”
“Iya, kalo Bunda marah, aku sedih. Tapi kalo Bunda sedih…..

Saya mengikuti kata-katanya, menebak-nebak apa kelanjutannya, bagaimana akhirnya. Mengetahui apa yang ada di benaknya menjadi hal yang menarik buat saya.

“Kalo Bunda sedih…” ulangnya sambil menarik napas, “Aku lebih sedih… tapi kalo Bunda marah cuma aku yang sedih”.

Saya tersenyum mendengarnya. Sederhana, kesimpulan anak-anak. Namun berarti besar bagi saya yang mendengarkan ungkapannya. Saya tak mengira sama sekali Aliya sampai memikirkan hal itu secara mendalam. Dalam hati saya berucap, Maafkan Bunda ya, Ay... karena tidak dapat menjawab pertanyaanmu kali ini.

Setitik embun meluncur di hati saya, memberi sejuk yang luar biasa. Sejuk itu darimu, Ay….

(Jika Aliya membaca tulisan ini suatu hari nanti, Bunda ingin Aliya selamanya ingat Bunda sayang sekali sama Aliya!)
Web Statistics