Pages

Selasa, 03 Mei 2011

suku Indonesia


Di ruang Fitness.

Setelah hampir lima menit ngobrol tanpa tau nama masing2, akhirnya Eva (begitu dia memperkenalkan namanya) wanita yang gue kenal saat nunggu kelas pillates kemaren sore bertanya ke gue.

“lo orang apa, Vo?” katanya sambil menatap lekat seakan dengan menatap wajah, kesukuan gue mudah ditebak.

Gue menghela napas panjang. Jujur gue rada risih jika seseorang yang baru kita kenal menanyakan kesukuan gue. Bukan , bukan karena gue malu menyebutkan daerah asal para nenek moyang gue tapi lebih karena gue males menjabarkannya.

“gue, hmm… orang Indonesia” jawab gue.

Bukanya merasa puas dengan jawaban gue, Eva malah justru bertanya lebih jauh lagi tentang suku ‘Indonesia’ yang baru aja gue sebutin. Dari wajahnya gue bisa membaca keheranan dirinya atas jawaban gue. Mungkin dia seolah melihat gue gak ubahnya seperti anak TK yang menuliskan semangka di kelompok sayur2an. Dan selamat! gue berhasil bikin cap bego dijidat gue sendiri di hari pertama perkenalan gue dengan Eva.

Gue paling males deh kalo udah harus menjabarkan panjang lebar “Ayah campuran Banjarmasin dan Sunda. Ibu campuran Jawa dan Betawi asli”. Kenapa gue males? Soalnya pertanyaan mereka gak cukup sampe disitu, udah pasti ada pertanyaan2 lain yang kemudian muncul setelahnya. Entah karena mereka memang bener2 peduli dengan identitas kesukuan gue atau hanya memuaskan keingintahuannya karena bingung dengan jawaban gue.

Ya! Gue lebih seneng menyebutkan Indonesia sebagai identitas kesukuan gue ketimbang menjelaskan dari mana gue berasal. Alasannya? Well, Karena gue ngerasa gak simpel aja untuk menjelaskan suku yang diwariskan oleh kedua orangtua gue yang harus bawa2 empat suku di Indonesia tersebut. Dan menurut gue dengan menyebut Indonesia paling gak sudah mewakili empat daerah asal suku gue tersebut. Iya kan?

Gue menolak merasa bersalah karena telah menyebutkan Indonesia sebagai identitas kesukuan gue. Bagi gue, jika menyebut hanya salah satu daerah sebagai asal suku gue, kok rasanya gue seperti berkhianat kepada nenek dan kakek gue yang laen yah... Tiba2 saja Kai yang berasal dari Banjarmasin, Ninin yang berdarah Sunda dan Nyai Saidah yang betawi asli arwahnya muncul dihadapan gue begitu gue menyebut Jawa sebagai kesukuan gue.

Bukan berarti gue gak seneng dengan warisan empat darah yang mengalir dalam tubuh gue. Dan juga bukan berarti gue menyesali pernikahan antar suku kedua orangtua bahkan keempat kakek nenek gue. Hanya saja gue jadi bingung menjelaskan 25 persen Banjarmasin, 25 persen Sunda, 25 persen Jawa dan 25 persen Betawi yang sejak orok udah gue sandang.

Suatu ketika, pernah kebodohan laen gue alami. “Eh, eh, gue harus nulis suku apaan nih?” tanya gue menyikut teman disebelah yang sedang asik menulis ketika kami sama2 sedang mengisi selembar form. Oke! pertanyaan gue tersebut cukup membuktikan bahwa gue bukalah orang yang cerdas karena hanya untuk menuliskan identitas kesukuan diri gue sendiri, gue harus bertanya pada temen yang oportunis. Yang bahkan jika gue menuliskan Pluto sebagai kesukuan gue, gue yakin dia gak peduli.

“Tulis aja suku Banjarmasin” katanya sambil pandangannya tetap pada kertas isian. “Sistem garis keturunan di negara kita kan patriarkat, jadi lo tulis aja Banjarmasin”. Jelasnya lagi begitu dilihatnya gue masih cengo’ pada pertanyaan suku yang mesti gue isi. Sekali lagi, jujur nih, gue kok berasa seolah2 kaya’ gak pernah lulus sekolah dan ijazah yang gue dapet selama ini patut dipertanyakan.

Meski pada akhirnya gue menuliskan Banjarmasin sebagai identitas kesukuan gue, tapi tetep aja hal tersebut bikin gue ngerasa gak nyaman dan jauh di dasar hati gue ada perasaan yang sulit buat gue diskripsikan.

Pernah suatu kali gue memutuskan menjelaskan panjang lebar tentang keturunan tetapi terkadang sering gak diapresiasi sama lawan bicara. Saat gue masih sibuk menjelaskan, “Ayah gue Banjarmasin campur Sunda, Ibu Jawa campur Bet……” udah dipotong, “Ih, ribet banget ya idup lo! tercermin dari suku lo yang gado2 gitu”. Tinggal deh gue melongo sambil mencerna kata2nya, ribet? emang iya sih. Tapi apa karena darah empat suku yang mengalir didiri gue hingga hidup gue jadi ribet? Tau ah…

Pada kejadian lain, seorang teman menggolongkan gue sebagai orang yang berdarah campuran saat menanggapi kesukuan gue.

“Hah?” kening gue berkerut denger kesimpulannya. Memang gak salah sih dia berkesimpulan begitu, hanya saja yang gue tau istilah tersebut hanya cocok untuk orang yang mempunyai ayah berdarah Amerika, ibu berdarah jawa dan bertampang indo serta berlogat kebarat2an seperti Cinta Laura misalnya.

Dan kalo gue gak salah, kriteria yang gue sebutin tadi sama sekali gak ada dalam diri gue. Yang iya, saat gue digolongkan sebagai darah campuran, malah gue seolah terlempar ke dalam kelas sihir satu angkatan sama Harry Potter sebagai mudblood yaitu penyihir keturunan darah murni penyihir dengan muggle atau orang biasa yang derajatnya jauuuuuuhh sekali dibawah para penyihir berdarah murni.

Nah, bagaimana dengan kemampuan bahasa daerah? Kali aja gue bisa mengaku satu dari empat suku yang bahasanya gue kuasai. Ah, lagi2 gue harus berdukacita dengan kemampuan gue berbahasa daerah, tak satupun dari bahasa2 tersebut yang gue bisa.

Gue memang punya darah Banjarmasin, Sunda, Jawa dan Betawi tapi semua itu bagi gue cuma sekedar keturunan doang, gak lebih. Sepanjang yang gue inget, ayah dan ibu gue aja gak ada yang bisa berbahasa daerah meski untuk mengucapkan sebuah kalimat sederhana sekalipun. Jangan heran, karena mereka, sebagaimana gue, telah lahir dan dibesarkan di Jakarta.

Heh? bahasa Betawi?? Ya, pasti lo berpikir masak gue gak menguasai bahasa Betawi sih? Fyi, bahwa suku Betawi adalah satu2nya suku yang tidak memiliki bahasa daerah? Karena bahasa yang mereka gunakan tidak memiliki ciri khas sebagai bahasa daerah. Jadi jika orang Betawi merantau kesuatu daerah maka mereka gak bakal bisa ngomongin kejelekan suku setempat pake bahasa mereka.

Gue sediri merasa gak cukup penting buat belajar bahasa daerah meski bahasa tersebut bakal mengukuhkan identitas kesukuan gue. Maka sebagai bahasa tambahan, jelas2 gue ambil kursus bahasa inggris yang lebih prestise ketimbang kursus bahasa Jawa yang walaupun gue pelajari cuma bakal gue pake untuk bicara dengan diri sendiri.

Terkadang gue suka berpikir, betapa simpelnya seseorang yang memang dilahirkan dari kedua orangtua yang satu suku, yaah paling gak dua suku lah,biar gak susah ngejawabnya jika kita dihadapkan dengan pertanyaan tentang suku. Punya suku campuran kaya gue agak membingungkan dan membuat hidup terasa lebih rumit.

Yaaahh lalu gue mau bilang apa? Paling2 saat ini gue hanya bisa menjalankan apa yang sudah digariskan betapapun itu membuat hidup gue sedikit ribet karena harus menjelaskan suku ‘Indonesia’ kepada setiap orang yang menanyakan identitas kesukuan gue. Entah sampai kapan.

Namun satu hal yang bikin gue bisa bernapas lega yaitu keribetan yang gue rasakan selama ini gak akan dirasakan oleh kedua anak gue, karena mereka bisa dengan mudah menuliskan atau menyebutkan suku Jawa jika ada yang bertanya tentang kesukuan. Karena 25 persen darah Jawa yang mengalir ditubuh mereka telah digenapi dengan 100 persen darah Jawa dari ayah mereka.

Eh, tiba2 kok pikiran liar gue muncul yah? Hmm…… bagaimana jika gue yang berdarah Banjarmasin, Sunda, Jawa dan Betawi ini menikah dengan pria keturunan Batak? **maaf jika tiba2 gue langsung nyomot suku ini, karena gak tau kenapa seketika suku Batak yang tiba2 muncul dipikiran liar gue** Yaaa… gak gimana2 juga sih, yang jelas anak gue bakal punya marga dibelakang namanya. Betul kan?

0 komentar:

Web Statistics