Pages

Kamis, 26 April 2012

revisi do'a

Ada pengalaman kurang ngenakin kemaren. Tepat pukul satu siang, Aya belom juga nyampe ke kantor saya. Biasanya, Aya langsung ke kantor begitu bubaran sekolah, trus saya dan Aya kemudian makan siang bareng. Tapi kemaren tuh gak! Sudah dua hari ini, sejak kemaren Aya gak mampir ke kantor saya begitu pas bubaran sekolah. Saya sama sekali gak curiga apa2. Kalo kemaren lusa Aya gak mampir ke kantor, itu memang karena sepulang sekolah Aya harus mengikuti pemantapan materi yang diadakan oleh guru wali kelasnya untuk menghadapi ujian nasional yang bakal digelar bulan Mei besok. Lagi pula, Aya sudah saya bawain bekal makan siang yang memang bisa dia makan usai sekolah sebelum Aya mendapatkan pemantapan materi di sekolah. Dan kemaren, seharusnya Aya gak punya kegiatan apa2 di sekolahnya. Tapi lagi2 saya gak curiga. Saya cuma mikir, paling2 Aya sedang maen bersama Alfina temannya yang rumahnya memang gak jauh dari sekolahan. Dan itu berarti gak jauh pula dari kantor saya. Sempet sih kepikiran mau telepon Aya, tapi kemudian saya inget, sudah hampir tiga minggu ini ponsel Aya saya sita untuk sementara. 

Seperti kebanyakan anak remaja sekarang yang rasanya gak eksis kalo tanpa hape, demikian juga Aya. Gak pernah sedetik pun Aya terlihat tanpa ponsel. Sebentar2 sms. Sebentar2 bbm. Sebentar2 bikin status fb. Sebentar2 upload foto. Sekali-kalinya saya lihat mata Aya tak tertuju pada layar hape, etapi... kupingnya disumpel earphone buat dengerin lagu dari ponselnya. Jujur, saya sempet kesulitan untuk menghilangkan kebiasaan Aya yang terlalu tergantung dengan tehnologi yang satu ini. Namun tega gak tega, akhirnya, sayapun mengambil keputusan untuk menyita ponsel Aya untuk sementara. Tujuan saya sendiri menyita ponsel Aya untuk sementara adalah agar Aya bisa konsentrasi belajar. Yah, paling gak sampe Aya rampung mengikuti ujian nasional yang memang tinggal di depan mata.


Hmm... jangan ditanya bagaimana sikap Aya pada saat saya menyita ponselnya. Aya ngambek dan cemberut seharian. Tapi karena Aya paham kalo saya gak bakal luluh meski dia bersikap seperti itu pada saya, Aya pun mengambil cara yang berbeda. Seperti menjelang akhir pekan kemaren tiba2 Aya menghadiahkan saya sebatang coklat. Setelah saya terima, ujung2nya Aya minta diperbolehkan pegang hape pada hari libur tersebut. **ah...anak ini ternyata paham kalo bundanya gak tahan kalo udah disogok pake makanan (-__-!!)** Awalnya, saya sempet tetep gak mau ngasih. Tapi setelah Aya ngasih alasan yang cukup masuk akal, "otak gak boleh dipake terus2an buat belajar, Bun... nanti stress" begitu katanya, akhirnya saya mengalah dan memberikan kebebasan Aya untuk pegang hape selama libur akhir pekan tersebut, namun dengan perjanjian Aya harus segera mengembalikannya pada saya begitu menjelang minggu sore.


Sebenarnya saya rada khawatir dengan menyita ponsel Aya untuk sementara, karena hal ini sama saja menyulitkan saya untuk memantau keberadaan Aya sepulang sekolah. Seperti kemaren2 misalnya. Aya pun bisa dengan bebas main dan mampir ke rumah temannya tanpa permisi ke saya. Dan Aya selalu punya berbagai alasan --biasanya, ujungnya2 hape-- jika saya menanyakan kenapa Aya gak berkabar ke saya jika hendak mampir ke rumah temannya. 

Dan, hari yang saya khawatirkan pun terjadi. Sekitar pukul dua lewat seperempat menit, saat saya sedang disibukan dengan kerjaan merevisi target, tiba2 saya dikejutkan dengan kedatangan tiga teman Aya. Alfina, Deva dan Caca. Dengan wajah terlihat panik, mereka menanyakan keberadaan Aya pada saya. Jelas aja saya jadi lebih panik dari pada mereka. Karena sejak sepulang sekolah Aya belum bertemu saya. Lagi pula sepengetahuan saya, Aya selalu main bersama mereka. Belum sempat saya menanyakan lebih jelas kepada mereka tentang keberadaan Aya, mendadak bapak guru dan ibu guru Aya datang ke kantor saya menyusul Alfina, Deva dan Caca. Ya Tuhan! ada apa ini? Ada apa dengan Aya?? 

Kesimpulannya, Aya diculik!! Begitulah yang saya dengar dari cerita bapak dan ibu guru. Saya benar2 lemas begitu mendengar penjelasan dari pak guru tentang apa yang terjadi. Perasaan saya? Gak usah ditanya kaya' apa...campur aduk pokoknya. Malah sampe2 saya gak bisa mendeskripsikannya dalam kata2 bagaimana sesungguhnya perasaan saya waktu itu.

Kronologinya sendiri seperti ini;

Saat Aya, Alfina, Caca dan Deva berjalan kaki sepulang sekolah, mereka dihampiri oleh seorang wanita yang menanyakan siapa guru wali kelas mereka. Dan setelah mengaku bahwa dia adalah kerabat sang guru wali kelas, maka wanita tersebut minta tolong agar diantar oleh salah seorang dari mereka untuk mengantarkannya ke rumah ibu guru tersebut. Aya pun dipilih oleh wanita tersebut. Namun sebelum berangkat meninggalkan ketiga teman Aya, perempuan yang mengaku kerabat ibu guru tersebut menanyakan apakah diantara mereka berempat ada yang memiliki ponsel? setelah ketiga teman Aya mengeluarkan ponsel mereka dari sakunya masing2, lalu si wanita tersebut meminta Deva --yang memiliki hape paling bagus diantara temannya yang lain-- agar menyerahkan ponsel bb nya ke Aya dengan alasan biar mereka bertiga mudah menghubungi Aya atau sebaliknya. Entah apa pertimbangan wanita tersebut ketika memilih Aya untuk menemaninya mengantarkan undangan, padahal Aya adalah satu2nya anak yang tidak membawa hape pada saat itu. Singkat cerita, pergilah wanita tersebut dengan Aya yang membawa bb milik Deva. Setelah menunggu sejam dan Aya tak kunjung kembali, akhirnya Alfina, Deva dan Caca memutuskan kembali ke sekolah dan melaporkan kejadian tersebut pada guru2nya.

Setelah mengabarkan tentang kejadian tersebut pada Papap, saya pun menuju sekolah Aya untuk  berkumpul dengan para guru-guru. Selain teman2 dari kantor, kakak dan adik yang saya kabari pun menyusul ke sekolah Aya kemudian. Saya benar2 kalut. Gak ngerti harus bagaimana. Harus mencari Aya dimana. Satu2nya yang terpikir oleh saya saat itu adalah, saya harus lapor kejadian ini pada polisi. Tapi beberapa orang guru juga menyarankan untuk minta bantuan 'orang pintar' selain melaporkan kejadian tersebut pada polisi. Terus terang, saat itu yang ada dipikiran saya adalah saya ingin Aya segera kembali. Titik. Saya gak peduli bagaimana caranya. Apapun pasti saya tempuh jika memang itu bisa mengembalikan Aya pada saya. Akhirnya dua orang guru mendatangi orang yang menurut cerita bisa membantu menerawang keberadaan Aya.  

Begitu hendak berangkat kantor polisi, ternyata ada seorang anak yang mengatakan dia melihat Aya di suatu tempat tadi. Berangkatlah beberapa orang yang terdiri dari teman2 kantor dan para guru ke lokasi yang dimaksud. Setelah mereka kembali, ternyata hasilnya nihil. Kembali ada beberapa anak yang menyatakan melihat Aya. Kembali lagi beberapa guru, kakak, adik saya menyusul kesana. Lagi2 nihil. Begitu terus berkali2. Hingga kemudian Hanum, teman sekelas Aya mengatakan bahwa dia tadi melihat Aya dibonceng oleh seorang perempuan menuju arah kampus binus. Kembali beberapa orang mencari ke jalan2 di seputaran kampus binus. 

Saat menanti kabar dari orang2 yang kembali dari mencari Aya tuh rasanya seperti seabad lamanya. Tubuh saya rasanya benar2 lemah tak ada daya. Semua persendian saya rasanya lemas. Saya sama sekali gak sanggup berdiri. Bahkan untuk meneteskan air mata saja rasanya tak sanggup. Saya cuma bisa berdo'a pada Tuhan. Minta yang terbaik. Meminta agar Aya selalu dalam lindungan Allah. Berkali2 saya menghibur diri sendiri. Aya, anak saya itu cerdas. Saya yakin Aya tau apa yang harus dilakukan bila Aya ditinggal sendirian di jalanan. Saya yakin, Aya pasti minta tolong orang untuk menelepon saya atau Pap. Ya, saya benar2 yakin Aya bisa seperti itu. Saya tau, pasti perempuan itu hanya menginginkan ponsel tersebut. Dan setelah dia berhasil mendapatkan ponsel tersebut pasti Aya akan diturunkan entah dimana. Saya tak putus2nya berdo'a semoga Aya ditinggalkan di suatu tempat yang tidak terlalu jauh. Semoga ada orang yang mau menolong Aya jika nanti Aya meminta pertolongan. Alhamdulillah, pikiran2 positif saya itu mampu menguatkan saya. 

Tapi terkadang, pikiran2 jelek selalu saja menyertai pemikiran2 positif saya. Mereka silih berganti melintasi pikiran. Apalagi ketika saya teringat kalo saat itu Aya gak bawa uang sepeser pun. Uang lima ribu perak yang sempet saya kasih untuk uang saku Aya justru tertinggal di jok belakang dalam perjalanan dari rumah menuju sekolah pada pagi harinya. Belom lagi kalo terpikir saat itu Aya belom makan siang. Sudah pasti saat ini Aya sedang kelaparan. Gak tau kenapa, semua tingkah Aya, dari yang ngegemesin sampe yang nyebelin melintas satu persatu di pikiran saya. 

Menjelang pukul empat sore, akhirnya penantian saya berakhir. Bertepatan Pap tiba di sekolah, sebuah motor yang dikendarai pak Tedy masuk gerbang sekolah dengan  membawa Aya di boncengannya. Tak ada yang lebih indah dari pada merasakan Aya menangis di pelukan saya. Hamdalah. Puji syukur bagi Allah. 

Happy ending? Belum!
Melihat Deva yang menangisi bbnya yang hilang, Aya pun gak tega. Akhirnya Aya bersedia memberikan bb miliknya kepada Deva. 

Duh, Tuhan...
Mulianya hati Aya.



____aya tertidur pulas setelah kelelahan menangis____


Mendadak saya jadi teringat dengan keinginan hati saya beberapa minggu yang lalu. Meski tak sempat terucap namun sempat terpikirkan di benak saya, yaitu pada saat merasa kesulitan melepaskan ketergantungan Aya akan hape. Saat itu saya membathin begini; Ah...coba hape Aya tiba2 rusak yah.... hmm... atau, mudah2an hilang!! Mungkin dengan begitu bisa membuat Aya menghentikan ketergantungannya pada hape. 

Tiba2 saya seakan diingatkan kembali bahwa setiap ucapan orang tua adalah do'a untuk anaknya. Saya juga jadi teringat, bahwa setiap jawaban atas do'a, prosesnya tak selalu harus sesuai dengan keinginan kita. Jalannya mungkin bisa berbeda2. Meski pada akhirnya tujuannya sama, yaitu merupakan jawaban atas segala do'a. Mungkinkah kejadian ini merupakan jawaban Tuhan atas do'a saya tersebut? Bukan berarti  saya keberatan meberikan ponsel Aya buat Deva, bukan. Saya hanya tak ingin prosesnya seperti ini. Saya tak mau mengalami kejadiannya kaya' begini. 

Ah, jika saya tau akan berakhir seperti ini, pasti sejak awal saya memohon pada Tuhan; Saya ingin merevisi do'a, Tuhan. Bolehkah?



Web Statistics