Pages

Kamis, 25 Oktober 2012

Firasat

Sudah lama banget gue pengen ke tanah abang, tapi adaaaa aja yang bikin gue selalu gagal untuk pergi kesana. Bukan tanpa alasan mengapa gue begitu ingin mengunjungi pusatnya tekstil terbesar di indonesia ini bahkan di asia tengara.

Mencari bahan baju adalah alasan gue ingin pergi kesana. Memang gue rada kesulitan untuk mencari baju2 muslim harian untuk Adel dan Aya. Ketentuan2 yang diterapkan oleh pesantren untuk baju2 harian para santrinya, terus terang bikin gue sedikit rada bingung untuk membeli dimana.

Sebuah blus yang panjangnya harus dibawah lutut untuk bisa dikenakan bersama celana panjang. Atau yang ini...sebuah blus dengan panjang sesuai panjang lengan kita di sisi tubuh. You know what I mean, kan? Yaahh... kira2 sepanjang lima belas senti di atas lututlah, baru bisa dikenakan bersama rok panjang.

Nah, kebayangkan gimana gue harus mencarinya? Ke departement store? Tau sendiri, kalo model baju2 di sana gak ada yang bisa dipakai untuk di lingkungan pesantren. Selain itu, gak hanya panjang blus saja tapi bahan baju juga ditentukan. Semua pakaian haruslah yang berbahan katun. Jangan dipikir kalo disana boleh menggunakan bahan kaos apalagi jeans.


Semakin bingunglah gue harus mencari dimana. Pasti kalian dengan mudah bilang "ngapain bingung? kan ada gamis!" Iya, gitu kan? Oia, yang pada gak tau gamis, gamis itu adalah baju terusan panjang hingga mata kaki. Biasanya tidak membentuk lekukan di pinggang.

Yuhuuuu...! Baju gamis mungkin bisa2 aja gue pilihkan untuk Adel dan dipake Adel tanpa banyak protes. Nah, kalo Aya?! Fyi aja nih yaaaa...baru dua minggu Aya bersekolah di sana aja, gue sudah harus menjahit empat rok sekolah Aya yang robek. Jadi gue yakinlah Aya gak bakal mau pake gamis.

Akhirnya, gue pun berniat untuk menjahit sendiri baju2 untuk Adel dan Aya. Kaya'nya udah waktunya gue kembali pegang pinsil dan kertas gambar deh... Kan lebih baik gue memanfaatkan kebisaan gue itu untuk anak2 gue dari pada gue berikan pada teman yang membuka usaha konveksi yang bilang tengkyu aja enggak setelah beberapa gambar gue kirim ke dia apalagi mengharapkan dikirimin beberapa potong baju hasil rancangan gue tersebut. Aih, kenapa gue jadi curcol begini (˘_˘") **abaikan**

Untuk mewujudkan niat mulia gue tersebut berarti gua harus mau capek2 untuk beli bahan baju. Kemana lagi yang bisa gue datengin kalo gak ke Tanah Abang.

Maka, di suatu Sabtu, gue udah niatin bener2 dari rumah kalo hari ini, ntar siang usai jam kerja, gue bakalan langsung ke sana. Mungkin gue bakal pulang kantor sejam dua jam lebih cepat dari jam pulang seharusnya. Yah, korupsi2 waktu dikit gak apalah...

Begitu nyampe di kantor, nyalain komputer kemudian melakukan tugas rutin seperti biasa --biasanya buka blog sih-- biar bisa merampungkan semua kerjaan, tiba2 sekitar jam delapan kurang beberapa menit gue dapet telepon dari om gue, adik bungsu dari nyokap gue. Om gue tersebut mengabarkan kalo tante gue, adik nyokap yang nomor dua --kami, para keponakannya biasa memanggil tante gue ini dengan sebutan Mak Mimi-- saat ini sedang sakit keras. Poinnya, gue, kakak beserta adik gue yang lain diminta datang saat itu juga ke rumah nenek gue di Tanah Abang.

Gak lama. Kira2 sepuluh menitan saat gue, adik dan kakak gue sedang bales2an bbm merencanakan buat ngumpul ke rumah nenek gue, mendadak om gue kembali mengabarkan kalo tante gue tlah meninggal.
Langsung, gak pake bbm'an lagi kami semua meluncur kesana. Semua, kami para keponakannya, dua anak angkat mak mimi, sahabat, kerabat dan handai taulan semua datang untuk memberikan doa dan pernghormatan terakhir. Semua hadir kecuali Adel dan Aya. Semua membacakan Surat Yasin untuk almarhumah kecuali gue yang saat itu sedang kedatangan tamu bulanan.

Sesungguhnya banyak kenangan gue dengan tante gue ini. Dulu, saat gue masih kecil, gue adalah keponakannya yang paling sering banget diajak2 pergi oleh tante gue dan suaminya. Gak heran begitu sayangnya Mak Mimi sama gue, karena Mak Mimi sejak menikah sama sekali tidak dikaruniai keturunan. Pada gue lah sayang dia tercurah. Hingga kemudian Mak Mimi mengangkat dua orang anak, kasih sayang beliau ke gue gak pernah berkurang sedikit pun.

Tapi sekarang, begitu gue udah mulai besar kemudian menikah dan punya anak, apa yang udah gue beri ke tante gue? Sama sekali gak ada!

Memang mak mimi ini terkenal sekali dengan kecerewetannya. Gak ada diantara gue, adik2 dan kakak gue yang betah lama2 ngobrol dengannya kecuali satu, kakak perempuan gue yang di Nias sono. Lia, adalah satu2nya orang yang bisa betah berlama2 ngobrol bahkan menginap di rumah mak mimi yang juga adalah rumah nenek kami. Gue, jangan harap bisa begitu. Kuping ini rasanya panas di'omelin' saban ketemu dari A sampe Z. Biasa deh...tipikal ibu2... apalagi omongannya kalo bukan nasehaaaaatt melulu.

Mengingat hal ini, gue berasa berdosaaaa banget dengan tante gue itu. Dulu saat gue kecil, gue selalu dapet perhatian dari mak mimi, namun begitu gue udah dewasa, bahkan gue jarang main dan menjenguk mak mimi di rumah nenek.

Banyak alasan yang bikin gue enggan kesana. Selain kecerewetan mak mimi, jalanan macet yang harus gue tempuh tiap kali jika ingin berkunjung kesana merupakan alasan utama. Jangan heran, rumah nenek memang terletak di wilayah Tanah Abang yang gak pernah sepi dari macet. Karena rumah nenek terletak di kawasan padat penduduk yang pas bersebelahan dengan HI di jalan Thamrin, hal ini juga bikin gue gak betah berlama2 disana. Gak tau kenapa rasanya sumpek. Serta semakin sulitnya saat ini mencari lahan parkir jika sudah sampai di depan jalan Kebon Kacang II, jalan dimana rumah nenek gue berada.

Berebut parkir dengan mobil2 yang lain undah jadi makanan sehari2 di sana. Pokoknya, dapet seculi lahan parkir disini tuh rasanya kaya mendapati sepotong irisan pete dalam sepiring nasi goreng ati dan ampela. Aahh...sedapnya bukan maen... Pokoknya gak boleh kalah cepet sama mobil2 mewah yang pemiliknya bisa diduga pasti ingin menikmati lezatnya nasi uduk Kebon Kacang Babe H. Saman yang kesohor itu. Mencari lahan parkir di jalan kebon kacang III dimana rumah Ninda --nenek gue dari bokap-- setali tiga uang. Itulah yang bikin gue makin jarang datang kesana.

Hari itu, seusai pemakaman, wajah sedih kami tadi pagi tak telihat lagi di wajah gue. Mungkin demikian juga di wajah kakak dan adik2 gue. Entah mengapa, yang ada gue justru lega. **tega ya, gue?** Rasanya seperti beban berat yang musti gue sandang hilang seketika. Gak ada lagi kewajiban gue buat nengokin tante gue itu lagi. Dan yang paling penting, gue gak perlu lagi denger nasehat2 tante gue yang lebih gue anggep sebagai kecerewetan dia kepada kami. Mungkin kelegaan ini tak hanya milik gue sendiri. Mungkin kakak gue juga merasakan. Mungkin adik2 gue juga. I don't know..

Namun kesedihan justru masih meliputi kakak gue, Lia. Dari jauh dia nelepon gue sambil nangis2. Pengen banget bisa pulang ke Jakarta. Tapi hal itu gak memungkinkan. Kakak gue sedang terbaring sakit dan sedang dalam perawatan adik iparnya yang dokter.

Ketiadaan waktu gue yang harus bekerja dari senin sampe sabtu dan kewajiban untuk menjenguk Adel dan Aya di sekolahnya pada hari minggu, bener2 membuat gue kesulitan membagi waktu untuk datang berkunjung ke rumah nenek meski untuk sekedar menanyakan kabar Mak Mimi.

Sesungguhnya, jauh di dasar hati gue, gue mengkhawatirkan kondisi Mak Mimi yang sejak suaminya meninggal harus tinggal berdua dengan om gue, adik bungsu dari nyokap di rumah nenek. Dia harus menghabiskan hari2nya seorang diri jauh dari keponakannya, jauh anak2nya yang sudah menikah dan tinggal terpisah rumah.

Lalu, salahkah jika gue ngerasa lega setelah Mak Mimi meninggal sekarang?

Yah, mungkin setelah membaca tulisan ini gue yakin kalian para pembaca pasti membenci gue. Tapi gue gak bisa bohong kalo sesungguhnya itulah yang gue rasain. Lega.

Kadang gue berpikir, kenapa gue gak bisa merasakan kesedihan seperti kesedihan yang dirasakan oleh Lia, kakak gue. Mengapa gue gak pernah dapat firasat apapun seperti mimpi, misalnya, yang dialami kakak gue tepat malam sebelum Mak Mimi meninggal. Kenapa gue gak pernah dianugerahi keistimewaan itu?

Satu2nya firasat yang gue alami cuma...gue jadi pengen banget pergi ke Tanah Abang. Meski ke 'Tanah Abang' dalam konteks ini bukan untuk mengunjungi Mak Mimi namun untuk belanja belanji yang hingga tulisan ini gue tulis, Insya Allah belum juga kesampaian untuk beli bahan yang gue idam2kan itu.

Tepat tadi malam adalah malam 40 hari Mak Mimi meninggal. Meski gue gak bisa menghadiri tahlilan tadi malam karena suatu urusan, tapi gue tetap memanjatkan do'a untuk beliau. Ya Allah, ya Latif... mengampuni segala dosa2 Mak Mimi, terimalah segala kebaikan yang pernah beliau perbuat sekecil apapun itu. Dan tempatkanlah beliau di sisiMu, ya Rabb. Λmΐΐπ Yάªª ♤♡ Ŕõßßǻl Ąlάmΐΐπ~


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

























0 komentar:

Web Statistics