Pages

Sabtu, 15 Desember 2012

batas cinta dan benci setipis kulit ari?

Tau kenapa ya, sering banget saya jahat sama orang lain. Apalagi jika tanduk udah muncul di kiri kanan kepala saya, tumbuh ekor di belakang lalu tiba2 aja megang tongkat trisula. Wuih, kalo mau dibandingin, pokoknya jahatnya saya itu udah sejajar sama firaun. Bener!. Oia, meski jahat yang saya maksud di sini adalah jahat dalam pemikiran dan belum sempat saya tuangkan dalam perbuatan, tapi bukan kah itu sama aja? Bukan kah artinya saya sudah punya niat, iya kan?.

Tapi biasanya sifat jahat saya itu timbul karena ada sebab. Ada yang memicunya. Seperti kemarin misalnya. Begitu pulang ke rumah sama Aya, tiba2 saya mendapati tembok setinggi 1,5 meter telah berdiri di sisi kanan rumah saya. Tembok yang membatasi carport rumah saya dengan rumah tetangga sebelah kanan saya. Wow! benar2 cara yang luar biasa untuk menyambut saya pulang dari kantor.






Memang sih adalah hak tentangga saya itu jika dia ingin membuat tembok yang memisahkan kedua rumah kami yang bersebelahan. Gak, gak ada yang salah. Cuma aja, kok tetangga saya itu gak ngomong2 dulu ya ke saya kala dia ingin mendirikan tembok pemisah tersebut? Biar gini2, kan saya juga punya hak. Karena sejak saya beli rumah ini pun konsep awalnya ini adalah rumah tanpa pagar dan tanpa tembok pembatas. Jadi jika sekarang tetangga saya itu hendak mendirikan tembok yang membatasi halaman rumah kami, sewajarnya kan bilang dulu ke saya sebagai tetangga sebelahnya, iya gak? Jangan maen nembok gitu aja dong!

Toh, kalo awalnya dia bicarakan dulu, saya pun pasti akan menyetujuinya. Walaupun saya akan minta agar tinggi tembok yang dididirikan gak lebih dari semeter. Gak kaya sekarang, saya jadi gak bisa melihat pemandangan ke arah jalan utama perumahan yang selama ini bisa saya pandang dari sisi kanan rumah saya tersebab terhalang tembok. (˘_˘")

Jadi jangan salahkan jika sisi jahat saya mendadak muncul kalo udah begini. Sesorean kemaren akhirnya saya sibuk meredam amarah agar gak muluap keluar. Di kepala ini, yang ada cuma pengen merakit bom molotov trus lempar ke rumah sebelah. Berkali2 saya istighfar dengan harapan bisa membantu menenangkan hati saya. 

"Sabar, Vo... sabaaaaaarr..." demikian berkali2 saya menenangkan hati yang rasanya udah mulai panas oleh dialog2 yang saya cipta sendiri dalam benak saya. Tapi, meski banyak2 beristighfar tetap aja saya yang cuma manusia biasa ini suka hilang kendali saat menahan emosi. Maka apapun benda yang saat itu dalam jangkauan saya, sapu, ember, gagang pel sampe pintu, saya banting2 sendiri. Duuuhh..!! Seharusnya sabar kan gak ada batasnya, Ivooooo...


Saya pun kemudian menenggelamkan diri dalam sebuah percakapan dengan diri sendiri. Mulai menebak2, alasan apa yang jadi pertimbangan tetangga saya itu hingga dia memutuskan membangun tembok pemisah diantara rumah kami. Saya pun menduga2 apa kiranya saya sebagai tetangganya pernah membuatnya merasa gak nyaman selama bertetangga dengan saya?. Dan gak hanya itu, kata2 kok begini, kok begitu, juga selalu menghiasi pikiran saya saat itu.

Setelah melalui segala pemikiran, saya pun berani menyimpulkan, rasanya gak ada tuh perbuatan saya yang buat dia gak nyaman jadi tetangga saya sejak kami berjiran selama hampir empat tahun. Malahan kalo gak salah, baru minggu kemarin saya dan si ibu tetangga sebelah itu saling bertukaran makanan.

Dan kalo dibayangkan, kami ini hanya keluarga kecil yang memiliki dua anak perempuan yang boleh dibilang sunyinya melebihi senyapnya malam. Apa lagi sekarang, yang tinggal menyisakan saya dan suami sejak anak2 harus berasrama di sekolahnya. Kemudian saya dan suami juga tipe2 pekerja yang pergi pagi pulang menjelang malam dan gak punya waktu buat ngegosip dan nenangga.

Halaman saya juga boleh dikatakan selalu enak dipandang selama si embak, asisten saya di rumah itu, selalu datang setiap hari buat bebenah rumah. Trus, apa dong yang membuat tetangga saya itu tega merengut pemandangan saya??

Mendadak saya ingat suatu hari jauuuuhhh sebelum kejadian hari ini.
Hari itu hari sabtu kalo gak salah.


"Nanti malam nonton yuk, Bun?" ajak suami saya.


Siapa yang gak suka diajak nonton, iya gak? Malam itu, usai nonton kami pun gak langsung pulang, melainkan nongkrong di warung mie rebus dan roti bakar hingga larut malam.


Besok sorenya.
Lagi2 suami saya bilang "Nonton yuk, Bun?"

"Hah! Lagi?"
saya melongo kebingungan.


"He'eh. Mau gak?" ajaknya lagi.


"Yaudah kalo maksa..." jawab saya lantas buru2 ganti baju.


Beberapa hari setelah hari dimana saya diajak nonton bioskop dua hari berturut2, akhirnya saya tau alasannya kenapa. Rupanya pada hari sabtu, dimana saya diajak nonton di hari pertama dan pulang larut malam itu adalah karena suami saya sedang menghindar datang ke rapat yang diadakan di lingkungan rumah. Kebetulan agenda cara rapat malam itu adalah pemilihan ketua RT dimana suami saya menjadi salah satu dari tiga calon yang ada.

Suami saya pikir, dengan tidak hadir dalam rapat pemilihan yang mencalonkan dirinya, maka otomatis pencalonan dirinya gugur begitu saja. Tapi nyatanya tidak. Rapat hari kedua, kembali diambil suara yang lagi2 memenangkan suami saya sebagai RT. Dan tetangga sebelah saya, hanya berada diurutan kedua.

Butuh dua minggu hingga akhirnya suami saya mau menerima jabatan itu, itu pun setelah sebelumnya dengan berbagai cara meminta agar voting diulang atau jabatan tersebut diserahkan saja pada calon yang lain. Namun rupanya pemilihan tersebut sudah mutlak. Dan suami saya tak bisa menolak.

Nah, sejak suami saya memenangkan pemilihan menjadi RT inilah kemudian sikap tetangga sebelah saya jadi berubah. saya gak tau pasti tersebab apa, tapi itulah yang kami rasakan. Belum lagi jika semua keputusan2 yang diambil suami saya dalam rapat2 RT selalu ditentang olehnya.

Sejak suami saya terpilih menjadi ketua RT, saya adalah orang pertama yang paling menentangnya. Hingga pada suatu malam saya bilang pada suami untuk mundur saja dari jabatan RT dan menyerahkannya pada orang yang lebih punya banyak waktu luang untuk mengurusnya atau pada orang yang lebih berambisi untuk posisi tersebut, misalnya. :P

Lagian, jujur nih! saya gak kepengen2 banget kok dipanggil warga dengan sebutan 'bu RT'. Belum lagi kalo sampah telat diangkut sama petugas sampah, siapa yang disalahin? Jalanan masuk perumahan banjir, siapa coba yang disalahin? Siapaaaa?? Ya RT lah!!

Belum lagi ngadepin warga yang bawel banget pengen lingkungan bersih dan aman tapi pas diminta kewajibannya buat bayar uang bulanan yang cuma seratus ribu itu, mendadak gak ubahnya jadi warga paling miskin sedunia. Uh, tinggal minta surat miskin aja dari kelurahan, legal deh! 
Bener2 bingung kan ngadepin orang kaya' begini... ┐(ˇ.ˇ")┌ 

Dan gak cuma itu, bini mana sih yang rela kalo suatu pagi tiba2 seorang ibu yang lewat depan rumah menegor suami saya yang sedang berkebun trus bilang gini;


"Pak, kapan diadain pengasapan? Udah banyak nyamuk nih di rumah!"


Ebuseeeett...! dia pikir suami saya petugas fogging apah?! 

Ya situ aja kali yang modal dikit buat beli obat nyamuk!! Gitu aja kok repot...

Jadi saya menyimpulkan bahwa mungkin aksi membangun tembok setinggi 1,5 meter yang memisahkan halaman rumah saya dan tetangga sebelah masih ada hubungannya dengan yang saya terangkan di atas tadi.

Tapi ya sudahlah... Saya selalu mencoba untuk sabar. Mungkin nasehat Oma yang tinggal diujung sana pada saya saat saya berkeluh kesan padanya ada benarnya. Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menghembusnya, begitu katanya pada saya. 

Baiklah, saya memang harus banyak2 bersabar sepertinya. Meski kesabaran saya itu harus mendapat ujian berulang2. Dengan berdirinya tembok yang memisahkan rumah kami, mungkin ada baiknya. Mungkin niat tetangga saya itu baik, agar keluarga kami tak terganggu dengan kegiatan2 keluarganya yang bisa saja mengganggu kami sewaktu2.

Lagi pula saya ngeri, ngeri membayangkan pepatah yang pernah dikatakan oleh orang2 tua dulu. "Jangan terlampau benci, nanti berubah jadi cinta". Pernah dengar kata2 itu kan? Bukan, bukan mau bilang kalo suatu hari nanti saya atau suami saya bisa berubah cinta pada mereka, bukan. Tapi tadi malam, saat Aya sudah tidur, seperti biasa saya curi2 baca sms dan bbm Aya dengan teman2nya. Dan ada satu bbm dari bocah lelaki anak tetangga sebelah saya itu, begini tulisnya;

"Aya, kita masih jadian kan? Bang Al** juga kirim salam buat kakak lo..." 


Dan kemudian obrolan itu diakhiri dengan tulisan Aya yang bilang begini; 

"Iya, kita masih jadian. Salam dari abang lo, ntar gue sampein ke Alifa".

Jujur, saya pucat begitu baca bbm ini.
Bukan pengen mendahului ketetapan Tuhan, bukan. Tapi saya juga gak boleh menutup kemungkinan jika Tuhan sudah berkata kun fayakun pada jodoh anak saya kelak kan? Makanya saat ini saya sedang berusaha meredam amarah saya dan suami agar timbulnya gak jadi benci amat sama tetangga sebelah tersebut.

Jadi sekarang udah gak marah lagi dong sama tetangga sebelah, Vo?

Ah, siapa bilang? 
Tetep aja gue masih sebel! Rasanya masih pengen nonjok mukanya kalo berpapasan (¬_¬)--o(✗_✗) 
Maka, untuk kali ini aja, saya gak butuh kata bijak apa2. Saya cuma minta coba kalian resapi rasa sebel saya ini sama2. Dijamin kalian bakal sama sebelnya dengan saya. 

Dan kalo kalian tetap bilang saya gak boleh sebel juga... wah, situ malaikat kali yah??! 




Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT



3 komentar:

It's My Life mengatakan...

huahahahaha jadi ceritanya bakal jadi Besanan nih...nahhh berarti bisa buat alasan tuh vo supaya pembatas tu di rubuhkan..kalian kan satu keluarga...huahahah

fauziyah fuad mengatakan...

meski gue gak boleh mendahului kehendak Allah, tapi kalo gue boleh milih, semoga hal itu gak terjadi yah! **mari kita sama2 ketok meja tiga kali sambil bilang 'amit2 jabang bayiiii...'**

dan layaknya orang tua yang lain, gue akan merestui jodoh pilihan anak2 gue kelak asal mereka gak beda keyakinan daaaann.... gak beda alam ajah...

It's My Life mengatakan...

*AKU TERPAKU* Aku merasakan yang lu rasakan vo.."jangan sampai terulang kembali"

Web Statistics