Pages

Kamis, 30 September 2010

Jatuh Cinta

Saya benci jatuh cinta. Karena memang tak seharusnya saya jatuh cinta lagi, apalagi disaat saya telah memiliki pendamping hidup dan dua orang anak.

Saya benci merasa bahagia bertemu dengannya lagi. Saya lupa kapan persisnya, namun semuanya dimulai saat saya dan dia bertemu kembali setelah sekian belas tahun lewat situs pertemanan. Saya rasakan setelah pertemuan itu, saya kok jadi ge er, merasa diperhatikan lebih dan merasa istimewa. Hati saya senang, karena sudah lama saya tidak merasakan hal seperti ini. Merasakan debar-debar yang dulu pernah saya rasakan. Dan bisa mengaguminya seperti dulu. Seketika saya merasa kembali seperti remaja. Dan yang pasti, tiba-tiba saya merasa nyaman bersamanya dan betah berlama-lama dengannya.

Saya benci merindukannya. Dia seperti tamu yang tak diundang pulang tak diantar , kehadirannya begitu tiba-tiba dan makin lama semakin memenuhi otak saya. Setiap hari saya berharap dia punya rasa rindu yang sama dengan saya. Namun terbukti bahwa, sejauh saya mengenalnya, dia bukanlah tipe orang yang suka mengungkapkan perasaannya. Hal tersebut justru membuat saya semakin penasaran dan menebak-nebak tentang perasaannya terhadap saya. Hal itu semakin membuat saya seperti perempuan yang mabuk kebanyakan makan jengkol, hingga tak mampu lagi menghitung sampai sepuluh hanya karena menahan perasaan kangen berkepanjangan.



Saya benar-benar benci jatuh cinta. Merasa bahagia mendengar tawa dan suaranya di telepon, dan untuk alasan yang tak bisa dijelaskan, bikin saya senyum sendirian meski dia baru mengatakan "halo" diujung sana. Mengirimkannya sms setiap hari hanya untuk menanyakan kabarnya hari ini. Dan meskipun terdengar basi, tetap tanya hal yang sama esok harinya lagi, bahkan pernah, saya menanyakan kabarnya hingga dua kali di hari yang sama.

Saya benci deg-degan menunggu dia online. Mengintip wall Fbnya setiap hari untuk mengikuti perkembangan dirinya. Melihat siapa saja yang berkomentar di statusnya dan apa komentar dia di status teman-temannya. Lihat foto-fotonya di Facebook sebagai penawar racun rindu, karena diam-diam saya sering banget merindukannya. Pada akhirnya, cemburu, marah, uring-uringan sendiri nggak jelas ketika dalam sehari dia tidak memberi kabar, lalu kemudian membuat saya melamun berkepanjangan dan takut kehilangan.

Lagi-lagi saya benci jatuh cinta. Setiap hari saya berusaha menyelaraskan perasaan saya dengannya, meski dalam kenyataan ternyata tidaklah semudah yang saya duga. Tak semudah analogi x + y = y + x. Tapi apapun itu dan bagaimapun dia, saya nggak terlalu peduli. Sangking sayangnya saya pada dia, saya tetap berupaya untuk bisa mengerti dirinya, dan berharap suatu hari saya bisa lebih memahaminya.

Sungguh, saya benci jatuh cinta. Saya semakin heran, karena setiap hari kelakuan saya semakin aneh. Saya bener-bener nggak bisa mikir sehat. Salah satu contoh yaitu, saya jadi selalu berpenampilan rapi kemanapun saya pergi. Tak hanya ketika saya akan pergi ke kantor. Pikiran saya sederhana saja, agar saya tetap terlihat sempurna dimata dia. Padahal dalam kondisi sebenarnya, dia tinggal jauuuuuhh... ribuan kilometer jaraknya dari tempat saya tinggal, mendaki gunung, menyebrangi lautan dan melintasi sungai. Jadi agak mustahil jika kami bertemu muka tak sengaja ketika saya makan siang di warteg samping pom bensin dekat kantor saya, misalnya.

Demi Tuhan, saya benci jatuh cinta. Nyatanya, takdir Tuhan menentukan lain. Disaat saya sedang merasakan gegap gempita indahnya jatuh cinta, justru saya harus mengakhirinya disaat yang bersamaan. Hal itu membuat saya tersiksa oleh perasaan kangen. Dan bayangan dirinya memenuhi kapasitas otak saya hingga membuat kerusakan otak saya secara permanen. Meskipun dalam kenyataannya saya hanya perempuan biasa yang jauh dari cantik, malah cendrung tak menggugah selera para pria, tapi sepanjang perjalanan hidup saya, baru kali ini saya merasakan sakit lever. *baca : sakit hati*. Namun lagi-lagi, nggak ada yang tau takdir Tuhan kedepannya kaya apa, dan sampai saat ini, mata saya masih berkaca-kaca dalam usaha untuk melupakannya.


Hari-hari berlalu sejak saya mengakhiri hubungan itu.
Seminggu,
Dua minggu,
Sebulan,
Dua bulan.....

Fuuiiihh.....! Ini sudah keterlaluan. Benar-benar keterlaluan. Saya tetap tidak bisa menghapus dia dari kehidupan saya. Otak saya masih dipenuhi oleh bayangan dia. Menyiksa saya dengan perasaan kangen dan mengharap yang berkepanjangan. Tapi siapa yang bisa saya salahkan atas rasa jatuh cinta yang saya alami ini?. Salah saya?. Saya juga nggak ingin kejadian ini terjadi., lagi pula jatuh cinta kan merupakan fitrah manusia. Lalu salah siapa?. Rasanya nggak mungkin menyalahkan Tuhan dalam hal ini. Atau saya salahkan saja situs pertemanan itu? karena dari sanalah semua masalah ini berpangkal. Tapi kok ujung-ujungnya bakal kembali bermuara ke Tuhan juga ya?

*** Ah, bilang aja, takut kualat sama Tuhan***

Bukan saya tak berusaha untuk keluar dari permasalahan saya, tapi berkali-kali saya berusaha, tapi hasilnya sama aja. Saya merasa tak mampu berbuat apa-apa. Saya sendiri terkadang merasa tersinggung, jika ada orang yang menjudge perbuatan saya, sok menasehati tanpa ada solusi, sok moralis dan terkadang nasehatnya sudah kadaluarsa yang selalu diawali dengan kata : "Seandainya dulu kamu begini..." atau "Seandainya dulu kamu begitu...". Basi. Saat ini saya tak butuh khotbah, saya tak butuh nasehat apalagi sumpah serapah atau caci maki. Yang saya butuhkan sekarang adalah mencari solusi yang terbaik atas permasalahan saya dan meyakinkan saya bahwa ini adalah sepenggal kehidupan yang memang harus saya lalui.

***Egoisme tingkat tinggi sekaligus mencari pembenaran diri***

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya tau siapa yang harus saya salahkan atas rasa jatuh cinta yang saya alami ini. Ya, benar. si Cupid. Dewa pembidik panah asmara itu. Dialah yang harus dipersalahkan atas kejadian ini. Dia harus bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya karena telah membidikan panah asmaranya pada saya. Pada dia. Yang jelas-jelas masing-masing dari kami telah memiliki pasangan hidup. Dewa itu telah melepaskan panah cintanya secara serampangan sehingga membuat hidup saya terlunta-lunta karena cinta dan mengobrak-abrik planning kehidupan saya.

Seharusnya Cupid lebih jeli melepaskan panah asmaranya kepada orang yang tepat. Harus ada yang mengadukan perbuatan Cupid ini kepada Dewa langit, agar dia tidak bisa seenaknya lagi melepaskan panah-panah asmaranya secara sembarangan. Dan Dewa cinta itu juga harus mencabut kembali panah yang sudah terlanjur menancap dihati saya dan dia dengan cara perlahan-lahan dan tidak menimbukan rasa sakit.

*** Bahagia bisa menyalahkan orang lain Dewa, sebagai pendukung pembenaran diri***

Rasanya postingan ini semakin ngelantur aja...
Dan sebelum omong kosong saya ini semakin panjang, akhirnya saya mengambil kesimpulan bahwa, apapun itu, saya merasa bahagia, karena Tuhan telah memberikan kesempatan sekali lagi kepada saya untuk bisa merasakan jatuh cinta.
Web Statistics