Pages

Rabu, 22 September 2010

Surat


Setelah sekian lama tak membuka email, tanpa sengaja, saya mendapati surat-surat yang pernah dikirimkannya pada saya. Sudah lama sekali, bathin saya dalam hati. Sambil membuka dan membacanya lagi, tiba-tiba terbesit keinginan saya untuk kembali mengirimkannya surat. Keinginan itu sangat kuat dan saya tak kuasa menolak godaan itu. Meski dalam kenyataannya saya tahu bahwa surat yang akan saya tulis ini tak kan pernah sampai bahkan dibaca olehnya, namun saya memutuskan untuk tetap menuliskannya dan membaginya disini. Setidaknya untuk saya. Untuk kita. Inilah surat saya untuknya;



Hai Kak, apa kabar? Sehatkah dirimu? Aneh rasanya kembali mengirimkanmu sebuah surat setelah sekian lama. Dulu kita adalah dua orang yang begitu dekat... kini, aku seperti sedang memulai sebuah perkenalan.

'Kak...' - sebenarnya aneh sekali aku memanggilmu dengan sebutan itu, biasanya aku akan memanggilmu dengan 'hon'... tapi, kini aku tak merasa cukup pantas untuk memanggilmu begitu. Banyak yang mungkin telah terjadi selama kita tak lagi bersama. Aku tak tahu. Aku hanya berharap kau baik-baik saja. Aku selalu berdo'a untukmu.

Kak, aku tahu, pasti banyak pertanyaan dibenakmu ketika kau membaca surat ini. Tapi tunggulah sejenak. Berilah aku sedikit maaf. Ini adalah surat pertamaku sejak kita 'berpisah'. Barangkali kau kesal padaku. Atau bahkan kau belum bisa menjinakkan rasa marahmu terhadapku. Aku benar-benar mohon maaf bila kau merasa demikian. Kalau boleh jujur, aku berharap kau senang atas kedatangan suratku saat ini, lalu membacanya dengan penuh perasaan seperti saat pertama kali kau membaca surat pertamaku dulu.


Sekarang, setelah surat ini kutulis dan kukirimkan, aku tak tahu apakah kau bersedia membuka dan membacanya atau tidak. Tapi aku harap kekhawatiranku tidak beralasan. Aku berharap kau menerimanya, membukanya dan membacanya.


Kak, setelah kita 'berpisah', tentu saja aku sangat merindukanmu. Kau tentu masih ingat, rindu adalah kosakata yang dulu hampir setiap hari kita umbar. Kurasakan rasa rinduku menjadi berkali-kali lipat lebih kuat setelah 'perpisahan' itu. Setiap hari, sesungguhnya aku ingin merawat rasa rindu itu. Tetapi setiap kali menyadari maksud dari 'perpisahan' kita, aku berusaha menanggalkan perasaan itu. Dan aku merasa tak pantas lagi merindukanmu, meskipun kenangan akan dirimu terus menerus menyergap ingatanku, terutama senyummu.


Setelah apa yang tejadi malam itu, aku merasa begitu bersalah sekaligus malu kepadamu. Rasanya aku seperti pendosa yang harus mengakui terlalu banyak kesalahan, dan disaat yang bersamaan harus menjelaskan semuanya.

Kini, lagi-lagi aku ingin mohon maaf atas segala yang telah terjadi.
Sesungguhnya, aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi pada kita. Dan aku tak menginginkan semuanya berakhir demikian. Namun setelah peristiwa itu, kau semakin menjarak dan semakin menjauh. Hari kita benar-benar lenyap tak berbekas ya?. Tak lagi aku temukan 'rasa' yang tadinya milik kita. Kau tahu? hal itu sungguh sangat mengguncangku, karena selama ini kutemukan tempat yang nyaman untuk aku bisa bercerita dan berkeluh kesah.


Kak, aku tahu, aku adalah wanita paling egois di seluruh dunia. Dengan seenaknya, aku berbagi bahagia denganmu, menceritakan tentang keseharianku, menceritakan tentang mimpi-mimpiku dan semua harapanku, namun kau setia mendengarkan. Kau merupakan seorang yang setia dan sabar pada semua tentang diriku. Itulah keistimewaanmu. Kini aku bagai kehilangan arah. Aku merasa seperti ditinggalkan sendirian. Aku tak bisa berkeluh kesah lagi denganmu. Hidupku benar-benar terasa kosong.

Pernah beberapa kali aku memimpikan dirimu. Sebenarnya aku ingin sekali langsung memberitahukanmu saat mendapati mimpi itu. Aku sungguh mengkhawatirkanmu. Tentu kau masih ingat, jika aku bilang khawatir, aku benar-benar khawatir, bukan sekedar basa-basi. Sama seperti jika aku bilang sayang padamu, itu artinya aku benar-benar sayang padamu. Namun tak ada yang dapat aku lakukan saat itu. Aku hanya bisa berdo'a dan minta yang terbaik untukmu, karena aku sayang padamu dan tak menginginkan sesuatu yang buruk menimpamu.

Kini, kau mungkin berubah, dirimu dan kehidupanmu. Aku hanya berdo'a dan berharap semuanya menjadi lebih baik... Aku menyayangimu, tak akan pupus. Aku merindukanmu juga. Tetapi aku terus berusaha menyadari bahwa sayang dan rindu bukanlah satu-satunya alasan yang mengharuskan kita bersama. Maafkanlah aku jika surat ini membuatmu terpaksa harus mengenang lagi kisah kita yang menyisakan lubang nyeri dihatimu.

Tak perlu kau mengubah tentang perasaanmu terhadapku, biarlah semua berjalan apa adanya seperti yang pernah aku minta padamu dulu. Ingat kan?

Maafkanlah aku karena telah mengusik ketenanganmu, aku hanya ingin bercerita, seperti dulu, berbagi keseharianku padamu. Mungkin pintaku terlalu berat untukmu, tapi izinkan aku bisa tetap bertukar kabar denganmu. Sekedar berkabar. Bisakan?

Kak, Aku harus mengakhiri surat ini. Kau tau kan, aku akan selalu berdo'a untukmu. Untuk apapun dan walau bagaimanapun, karena aku sayang padamu. Jika Tuhan menguji kita dengan kisah ini, aku ikhlas. Kuharap kisah ini membuat kita semakin bisa memaknai arti kesetiaan. Kalau boleh aku meminjam kata-katamu, semoga kisah ini menjadi yang pertama dan terakhir untuk kita berdua.

Peluk ciumku untuk putra dan putrimu dan tak lupa sampaikan salamku untuk istrimu.



Jakarta, 21 September 2010

*gambar diambil dari sini

Web Statistics