Pages

Rabu, 05 September 2012

arti sebuah nama

Saya duduk sambil mendekap Adel yang saat itu masih berusia beberapa minggu dalam pelukan. Sementara, di depan saya agak ke kanan sedikit, Bapak duduk sambil menghisap kretek. Bapak menghisap dalam2 kretek yang panjangnya tinggal separuh lalu menghembuskan asapnya dengan terlebih dahulu sengaja memalingkan wajahnya dari saya. Dari Adel. Rupanya Bapak sengaja melakukannya. Mungkin karena Bapak risi melihat saya dari tadi mengibas2 ujung jarit [kain panjang untuk menggendong bayi. *Red] yang saya pake buat menggendong Adel demi mengenyahkan asap kretek yang diisap Bapak.

"Kenapa? Takut kabotan jeneng?" [keberatan nama. *Red]

Bapak mulai bicara lagi setelah beberapa saat jeda.

Saya menggeleng.

Bapak kembali diam.

Saya juga... diam. **ketiduran**


Entah apa yang ada dibenak Bapak saat itu. Mungkin Bapak menilai saya bukanlah mantu yang baik. Mungkin Bapak berpikir telah keliru memilih saya, dulu. Mungkin Bapak merasa kecolongan ketika menyeleksi saya dari segi bibit, bebet daaan.... kecuali bobot dalam arti harfiah tentunya, mengingat saat itu saya kelebihan berat badan gila2an usai melahirkan Adel. [Dalam falsafah masyarakat Jawa bibit berarti asal usul/keturunan, bebet artinya silsilah keluarga, kerabat dan teman2nya dan bobot artinya nilai pribadi diri yang bersangkutan. *Red]

"Maaf, Pak..." Saya memberanikan diri membuka suara. "saya sudah punya pilihan nama sendiri buat anak saya".

Saya lihat Bapak menghela napas panjang seraya menekankan bara di ujung puntung kreteknya ke dasar asbak. Asap halus seketika menyeruak dari ujung bara yang dipadamkan secara paksa tersebut.

Wajah saya tertunduk sambil diam2 mengamati gerakan tangan Bapak saat mematikan puntung kreteknya. Saya lantas mengibaratkan diri seperti puntung kretek yang barusan tewas di tangan Bapak. Ah, mungkin segemas itulah Bapak pada saya. Segemas Bapak membenamkan bara puntung kretek pada dasar asbak dengan memelintirnya dua kali ke kiri dan ke kanan hingga puntung tergeletak bengkok tak berdaya dengan asap tipis yang  melayang sebentar di udara laksana napas penghabisan sebelum akhirnya benar2 hilang tak membekas.

Saya tiba2 bergidik. Lalu buru2 mengeyahkan bayangan itu jauh2 dari pikiran saya.

Terdengar Bapak berdehem dua kali sebelum akhirnya bertanya.

"Jadi kamu sudah punya pilihan nama sendiri untuk anakmu?" suara Bapak seketika sanggup membuat tatapan mata saya beralih dari puntung kretek di dalam asbak lalu ragu2 menatap wajah Bapak.

"Lah! tadi kan saya bilang begetooohh... gak nyimak niiiihh si Bapaaak..." saya menjawab pertanyaan Bapak dalam hati.

"Sopo jenenge?" tanya Bapak lagi. [siapa namanya? *Red]

"Alifa..." jawab saya ragu2. "Alifa Nadella... yang artinya pandai, cerdik dan ramah dalam bersahabat" begitu saya melanjutkan.

Oia, sebulan kemudian saya menambahkan Ayudhitta di belakang namanya, biar Jawanya masih kentara karena ada unsur kata ayu ayu-nya gitu... meskipun sesungguhnya alasan saya memberikan nama belakang tersebut karena sebenernya itu merupakan singkatan dari Anak Yudhi Wanita... Bwahahaha... Yaah, biasalah... menamai anak dengan perpaduan nama ayah dan ibu atau singkatan suatu kata yang berisi harapan sering digunakan oleh orang tua yang udah keabisan ide, gak kreatif atau malah udah putus asa kaya' saya.


Itu.

Dialog di atas adalah percakapan saya dan Bapak kira2 14 tahun yang lalu. Dua minggu setelah saya melahirkan Adel. Saat itu Bapak ingin turut menyumbang sepotong nama buat anak saya. Suatu keinginan yang wajar. Keinginan seorang kakek yang berniat memberikan nama untuk cucunya. Cucu pertamanya. Tapi entah mengapa saat itu saya gak setuju dengan nama pemberian Bapak tersebut.

Sebenernya nama yang Bapak berikan buat Adel gak jelek2 amat sih. Nama tersebut bukanlah nama kampung mentang2 Bapak tinggal di desa. Justru sebaliknya. Nama tersebut terdengar lebih kebarat2an bagi saya. Nama pemberian Bapak untuk Adel adalah Refina. Iya, Refina.

Lalu apa alasan saya menolak nama pemberian Bapak tersebut?
Karenaaa....

"Karena saya gak mau nanti anak saya dipanggil teman2nya dengan sebutan Uyah! Uyah! gitu, Pak..." saya memberi alasan yang mudah2an bisa diterima Bapak. [Garam! Garam! *Red].

Ya, selain saya sendiri ngerasa gak cocok dengan nama pemberian Bapak tersebut, mendadak gambar sebungkus garam dapur yang biasa saya pake di rumah muncul di benak saya.




Bapak tidak memaksa. Dan akhirnya saya tetap memakai nama pilihan saya sendiri, Alifa Nadella Ayudhitta untuk nama putri pertama saya. Lalu kenapa nama itu yang saya pilih? Yang pasti bukan karena nama tersebut perolehan sms-nya paling banyak. Apalagi! bukan juga gara2 nama itu berinisial A hingga kelak ketika Adel bersekolah maka namanya  akan berada dalam urutan teratas dalam daftar absensi. Bukan juga karena saya waktu hamil Adel ngidamnya religius sekali yaitu pengen tawaf di Mekah hingga kemudian saya memilih nama yang islami tersebut. Simpel aja sebenernya. Karena saya ingin menamai anak2 saya seperti ayah menamai kami anak2nya yang memiliki nama islami dan punya arti yang bagus. Lagi pula, bukan kah
nama adalah merupakan do'a dari kedua orang tua? Saya juga inget bahwa setiap orang akan dipanggil ke hadapan Allah dengan nama mereka yang punya arti baik menurut islam di hari kiamat kelak.


Tapi,


Refina...

Hmmm..... sekarang saya sadar, meski saya gak tau apa arti dari nama permberian Bapak tersebut tapi menurut saya nama Refina lebih baguslah ketimbang Regal atau Regina! :D **apa lo, Lis? sekali lagi lo aduin ke Regina, jari lo bakal gue lakban jadi satu biar gak bisa twitteran, mau?**



Saya sadar kalo saya telah mengecewakan perasaan Bapak saat itu. Dan itu saya baru sadari sekarang. Tepat ketika saya duduk bersimpuh di depan jasad Bapak usai saya membacakan surah yasin beberapa jam sebelum kemudian Bapak dimakamkan awal bulan Juli kemaren. Ya, Bapak kini telah berpulang setelah selama kurang lebih 6 tahun menderita kanker hati dan diabetes.

____saat nyekar ke makam bapak usai sholat ied____

Memang saya akui, bahwa tak pernah terjalin keakraban sejak dulu antara saya dan Bapak. Kami gak begitu akrab. Entahlah... apa karena ada rasa gak enak sejak saya menolak nama pemberian Bapak untuk Adel atau karena memang saya yang gak betah lama2 ngobrol dengan Bapak yang selalu menghiasi dirinya dengan asap rokok. Hingga saya selalu terlibat pembicaraan singkat saja dengan Bapak.

Bagi Bapak dan ibu, bermenantukan saya mungkin merupakan suatu hal yang membanggakan. Titel 'anak jakarta' yang saya sandang tanpa perlu sekolah kemana2, mungkin merupakan sesuatu yang tak ternilai buat mereka. Padahal saya di jakarta bukan apa2 dan bukan siapa2. Tapi mereka memperlakukan saya seperti saya lah pemilik tugu monas dan pewaris satu2nya kiloan emas yang bertengger di puncaknya. Hehehe... Dan begitu juga dengan saya. Berkat Bapak, saya yang memang sejak belia dulu punya impian jadi artis terkenal dan dikejar2 para penggemar akhirnya jadi kenyataan. Saya jadi terkenal seantero desa. Kemana pun saya melangkah semua penduduk desa yang berpapasan dengan saya pasti akan selalu menyapa ramah mulai dari "datang kapan, mbak Ivo?" sampe "arep tindak pundi, mbak Ivo?" [mau pergi kemana? *Red] Ya, mendadak saya sangat terkenal dengan sebutan "Mantune Pak Kades" [Menantunya pak kepala desa. *Red]. Aaaaahhh....! ini apaan sih dari tadi rad red rad red melulu... ngeganggu jalan cerita gue ajah!! [Biarin weeeeekk.... *Red]

Kekondangan saya itu baru di satu desa, belum lagi dua desa lain dimana Bapak dulu sempat menjabat sebagai carik di sana.

Hmm... saya jadi inget, dulu, ketika pertama kali kesehatan Bapak menurun dan harus dirawat hingga beberapa bulan di rumah sakit, Bapak selalu mencari2 saya yang sejak seminggu dirawat tapi belum sempat saya tengok. Hal itu saya ketahui dari ibu dan Rosi kemudian. Ah, masa iya sih? Mengapa justru saya? Kenapa gak menantu Bapak yang lain yang Bapak cari? Tapi pertanyaan saya gak terjawab hingga Bapak kemudian meninggal. Tapi kemudian saya menyimpulkan bahwa mungkin itu sesungguhnya adalah bentuk sayang Bapak pada saya.

Meski saya jarang terlibat obrolan seru dengan Bapak selama ini, meski tak ada setetes pun air mata yang jatuh saat saya menghadiri pemakaman Bapak, tapi bukan berarti saya gak sayang dan hormat sama Bapak.
Cuma satu yang benar2 saya sesali yaitu saya gak sempat bertemu dan minta maaf pada Bapak saat Bapak terbaring sakit hingga menemukan ajalnya.

Selamat jalan, Pak... Semoga Allah melapangkan jalan Bapak menuju surga. Semoga Allah menerima sekecil apapun amal ibadah Bapak karena saya tau Bapak orang baik. Mungkin bagi Bapak saya bukanlah menantu yang terbaik. Bukan menantu yang patut dibanggakan. Tapi sungguh! saya merasa beruntung pernah memiliki "Bapak" seperti Bapak.




~Saya ceritakan dari dalam kubikel saya untuk putri saya tercinta Alifa Nadella Ayudhitta. Selamat ulang tahun, Sayang.... Salah satu hakmu sebagai anak sudah bunda tunaikan, yaitu memberimu nama yang baik. Dan itulah arti namamu, Nak!

0 komentar:

Web Statistics