Pages

Sabtu, 08 September 2012

puncak, riwayatmu kini

Boleh dibilang, sudah hampir dua tahun saya gak pernah lagi ngijekin kaki di puncak untuk sekedar wiken. Selain rada males pergi ke sana karena harus menempuh perjalanan yang bisa makan waktu lebih dari 4 jam karena imbas buka tutup jalur yang diberlakukan saban liburan, juga karena sejak Adel sekolah di sekolah yang berasrama saya jadi gak tega kalo mau melepas kepenatan bertiga doang di puncak. Bener2 rasanya ada yang kurang karena Adel gak ikut.

Maka, ketika libur kenaikan kelas kemaren, kami menjadikan pucak sebagai pilihan tujuan untuk berlibur. Tentu saja, Adel pun ikut.

Sabtu sore kami berangkat dari Jakarta. Tiba di puncak empat jam kemudian. Lantas kami langsung menuju hotel tempat biasa kami menginap dulu. Hotelnya tersebut terletak tepat di puncak pas sonoan dikit. Begitu cek in, rada terkejut, karena room rate yang ditawarkan bener2 murah banget. Dulu, dua tahun yang lalu, biasanya kami musti mengeluarkan uang sekitar tujuh ratus ribuan untuk sebuah deluxe room dengan dua tempat tidur  ukuran sedang. Tapi biaya segitu musti kami tambah lagi dengan menyewa satu extra bed karena Adel gak mau tidur bareng sama Aya yang gemar banget maen karate saat tidur.



Saya begitu terkejut begitu melihat harga sewa per malam, malam itu, sabtu malam. **pusing, pusing deh, tuh bacanya!** Gak lebih dari lima ratus ribu rupiah. Keterkejutan saya gak hanya di situ. Begitu kita rampung ngurus pembayaran, ternyata saya juga diberi kupon makan malam untuk tiga orang selain tiga kupon sarapan pagi. Loh, ternyata include makan malam, tah!.

Selesai? belooooomm....

Begitu saya masuk kamar, ternyata saya tidak mendapati dua bed ukuran sedang. Tapi tiga bed ukuran sedang!! Wah, wah, waaaahh.... saya lantas geleng2 dalam hati. **Geleng2 dalam hati tuh gimana yah?** Akhirnya sepanjang malam itu saya jadi kepikiran kenapa hotel milik keluarga artis pemilik nama belakang Bleszynski ini bisa banting harga kaya' gini.

Tapi pertanyaan saya akhirnya terjawab oleh saya sendiri tentunya. Mungkin hal itu dikarena saat ini telah banyak hotel2 baru yang berdiri di sepanjang jalan raya puncak hingga menuju cipanas. Hingga sebab persaingan maka mereka pun berani ambil langkah dengan menurunkan harga kamar, menambah jumlah tempat tidur sampe menyediakan makan malam selain makan pagi bagi para tamu hotel.


Ah, ternyata puncak sudah banyak berubah. Perubahan saya rasakan gak hanya dari yang saya ceritakan di atas aja. Bahkan hawa dingin yang dulu selalu mampu membuat saya harus memakai jaket, kini tak lagi saya rasakan seperti itu. Hawa di puncak kini terasa hanya sejuk saja.



Keesokan harinya, selesai sarapan, kami pun cek out dan langsung menuju ke kebon raya cibodas yang berjarak hanya sekitar 2 atau 3 kiloan gitu deh. Kebon raya cibodas ini terletak di komplek hutan gunung gede pangrango. Jujur, cobodas adalah obyek wisata yang tak pernah ada di daftar tujuan jalan2 kami selama ini. Kalo gak salah, saya terakhir kemari yaitu waktu saya masih sekolah dulu.

Sebenarnya banyak yang bisa dilihat di kebon raya cibodas ini.  Di sana kita bisa mengunjungi beberapa sumber air terjun yang masih terletak di dalam kawasan obyek wisata ini. Selain itu ada telaga biru yang airnya akan nampak selalu berwarna biru saat diterpa sinar matahari karena banyak terdapat ganggang biru yang tumbuh di dalam  telaga tersebut. Dari sini kita juga bisa mencapai taman nasional gunung gede pangrango, tempat dimana para pendaki biasa menyempatkan diri untuk menyaksikan matahari terbit ataupun terbenam. Juga terdapat lembah mandalawangi yang merupakan ladangnya bunga edelweiss.



Hanya dengan menempuh kurang dari setengah jam, akhirnya kami tiba di kebon raya cibodas. Tujuan kami, tentu saja mau melihat air terjun. Begitu hendak melangkahkan kaki menyusuri jalan sesuai petunjuk jalan yang menunjukan arah ke lokasi air terjunn tiba2 seorang anak lelaki menawarkan diri untuk mengantar kami menuju lokasi air terjun.

"lewat jalan pintas, bu..." begitu dia bilang sambil terus mengikuti kami dari belakang meskipun berkali2 saya menolaknya dengan halus.

Logikanya gini, buat apa saya jauh2 datang kemari untuk melihat air terjun tapi mengambil jalan pintas untuk menuju kesana?. Justru itu kan yang kami cari saat memutuskan datang kemari. Ingin menikmati pemandangan dan menghirup udara segar sepanjang perjalanan menuju lokasi air terjun tersebut. Iya kan? Tapi karena rasa kepribidadarian saya tersentuh melihat anak lelaki itu yang terus mengikuti dari belakang, akhirnya saya ambil keputusan. Saya mengalah.

"Yaudah, kamu antar kami ke air terjun, tapi saya gak mau lewat jalan pintas ya..."

Gak pake aba2 lagi, Firman, nama anak lelaki itu, kemudian berjalan melewati kami hingga kini kami lah yang sekarang mengikuti dia dari belakang.


Lihatlah yang kami lihat sepanjanng jalan, hmm... bener2 bikin segar badan dan pikiran.

Tapi baru lima belas menit kami menempuh jalan bebatuan yang menanjak, saya udah ngos2an. Sementara itu Firman sudah jalan mendahuli kami jauuuuhh sekali. 

"Jang! lalaunan atuh..." (Ujang! pelan2 dooonngg...) kata saya ketika berhasil menyingkat jarak dengan Firman yang jalan tanpa rasa lelah sedikit pun di depan saya. [Ujang adalah nama panggilan untuk anak laki2 di jawa barat, kaya' buyung di sumatera barat, ucok di sumatera utara dan kokoh di glodok. :P]

Gak cuma saya, Adel juga keliatan udah bener2 kepayahan hingga harus digandeng. Makanya, nduuutt.... makannya dikurangin tuh! :D


Beberapa kali kami harus minggir untuk istirahat sejenak. Yah, sekedar menstabilkan napas yang memburu untuk kemudian melanjutkan lagi perjalanan.

Melihat saya yang bentar2 istirahat, bentar2 minum, bentar2 mampir ke toilet, saya jadi yakin kalo si Firman diam2 meledek saya dalam hati sambil bilang "Sukuriiiinn...! tadi diajak potong jalan gak mao" 

Yah! suatu keputusan yang kemudian saya sesali kemudian. Apalagi jalan yang kami lalu itu belom seberapa. Setengah jam kemudian, jalan bebatuan selebar dua meter itu berubah menjadi jalan setapak yang menurun dengan kemiringan yang sangat curam. Beberapa kali saya harus duduk dan berpegangan pada undakan waktu menuruni anak tangga.

Beberapa kali Aya yang berjalan di belakang saya ketawa cekikikan geli ngeliat saya.

"Bunda kaya' anak kecil..." gitu katanya.

Aah.... bodo amat! dari pada saya sukses tiba di bawah dengan cara jatoh ngegelundung karena gak ada apa pun yang bisa saya pake buat pegangan, mending saya menuruni tangga pake cara saya yang saya anggap aman. Mana bebatuan di tiap anak tangga saya lihat basah dan berlumut. Uh! kebanyang deh licinnya kaya apa.

Tapi akhirnya kami tiba juga di lokasi air terjun.


Taraaaaaaa.........




Kemudian kami memutuskan untuk main air di bawah aja mengingat saya sama sekali gak bawa baju ganti. Dari pada musti jalan dengan baju basah sambil kedinginan sampe ke mobil, mending gak ikutan main2 di bawah air terjun deh. Meski sebenernya kepingiiiiiinn banget.







Puas maen air, saatnya kembali ke mobil untuk pulang. Akhirnya saya minta pada Firman untuk mengantar kami kembali lewat jalan singkat.

Dengan satu kali anggukan, Firman kemudian mulai kembali berjalan di depan kami dan menuntun kami pulang lewat jalan kata dia jarak tempuhnya lebih pendek.


 Dan inilah jalan pintas yang harus kami lalui untuk kembali ke mobil. Aih! gak lebih baik dari yang tadi. Malah lebih parah. Karena yang kami harus melewati adalah jalan setapak yang becek bukan jalan beralas bebatuan seperti yang tadi.


Akan tetapi, pemandangan disini lebih bagus. Bener2 masih alami. Karena kami berjalan diantara pepohonan tinggi seolah persis banget di dalam hutan.


Lagi2 Adel harus sesekali beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga sebelum kemudian melanjutkan jalan kembali. Etapi, kenapa harus minggir di bawah pohon gitu, Del? Pake ngangkat kaki satu lagi... persis kaya' guguk mau pipis... Hehe


Nah, dari sini kita mulai naik2 ke punjak gunung...


Ternyata bener2 singkat. Hanya mendaki jalan sebentar, gak sampe lima menit, kami pun akhirnya tiba di tempat semula.


Begitu tiba di atas, kami pun langsung bergeletakan di atas hamparan rumput. Bahkan saya langsung meraba pergelangan tangan untuk merasakan debar jantung. Takut kalo2 jantungnya ketinggalan di bawah tadi. :)


Dari kejauhan saya lihat Firman terngkurap sambil ngeliatin kami yang masih sibuk ngatur napas karena kelelahan. "Huh! dasar orang kota!!" mungkin dia blilang begitu dalam hati.

Setelah memberikan beberapa lebar pecahan sepuluh ribu kepada Firman, kami pun memutuskan untuk mengakhiri kunjungan kami di cibodas hari itu. Waktu mencari pintu keluar, kami sempat mampir sebentar ke taman lumut. Tapi sayang, hari itu taman lumut sedang tidak dibuka untuk umum, jadi saya sempat mengambil gambar dari luar pagar.


Gak cuma itu, saya juga sempat belanja hasil2 pertanian yang dijual di sepanjang jalan keluar. Saya kalap liat  kembang kol, brokoli, wortel dan tomat. Duh, tiba2 jdai kepengen bisa berkebun dan menanam semua ini di kebun belakang rumah. Tapi saya urungkan karena mendadak inget kalo belakang rumah saya sudah rumah tetangga belakang. :)

0 komentar:

Web Statistics