Pages

Rabu, 12 September 2012

teawalk di malabar

Apa yang ada dibenak kalian saat saya sebutkan kata Bosscha? Pasti kalian akan membayangkan sebuah bangunan tempat pengamatan bintang tertua di Indonesia yang terletak di Lembang, Bandung Selatan. Iya kan? Memang gak salah. Tapi yang saat ini ingin saya ceritakan adalah bukan observatorium tersebut melainkan sebuah perkebunan teh yang dikenal dengan perkebunan teh Malabar yang terletak di kawasan argowisata di Pengalengan, Bandung yang didirikan oleh Karel Albert Rudolf Bosscha pada tahun 1896.

Kawasan yang musti ditempuh dengan jarak kurang lebih 40 kilometer dari kota Bandung ini memiliki pemandangan yang indah dengan hamparan pepohonan teh. Karena letaknya di ketinggian 1.550 meter dpl, maka gak heran jika hawa di tempat ini sangat sejuk dan dingin.


____pemandangan yang saya lihat begitu buka pintu cottage tempat saya nginap____


Perkebunan teh Malabar ini merupakan perkebunan teh tertua yang ada sejak jaman penjajahan Belanda, ini terbukti dengan masih adanya pohon2 teh yang sudah berusia tua yang ditanam oleh K.A.R. Bosscha dan digunakan sebagai bibit di perkebunan ini pada jaman dahulu.

____pohon teh tertua yang digunakan sebagai bibit di perkebunan teh malabar____

Keesokan harinya, pagi2 sekali, saya menyempatkan jalan2 mengelilingi perkebunan teh diantar mamang penjaga penginapan. Aktifitas teawalk ini rasanya paling favorit dan gak bakal dilewati oleh para wisatawan yang berkunjung di kawasan argowisata ini deh. Hamparan kebun teh seluas mata memandang sambil menghirup hawa sejuk seketika emang mampu bikin perasaan tenang dan segar.

____asik berbincang dengan mamang penjaga cottage____



Dari inilah teh terbaik dihasilkan. Yaitu dari bagian pucuk dengan 2 - 3 helai daun muda (disebut pecco) yang kaya akan senyawa polifenol, kafein dan asam amino yang mempengaruhi kualitas warna, aroma dan rasa dari teh.

____asap yang mengepul dari kejauhan itu adalah merupakan uap panas bumi yang kemudian dimanfaatkan untuk pemandian air panas____


Di tengah perkebunan dengan luas ratusan hektar ini, kami sempat mengunjungi moseleum atau makam dari Karel Albert Rudolf Bosscha yang wafat pada tahun 1928.



Di sini, kita juga bisa saksikan sebuah kursi yang konon merupakan tempat K.A.R. Bosscha beristirahat setelah mengawasi perkebunan teh miliknya ini. Akhirnya, teawalk yang memakan waktu hingga dua jam ini pun berakhir, tak terasa jika kami sudah tiba kembali di depan gerbang penginapan tempat kami bermalam.

Ada satu hal yang mengusik hati saya saat penjaga makam mengatakan bahwa Bosscha bukanlah seorang penjajah sebagaimana orang2 Belanda yang datang ke Indonesia. Loh? kalo memang bukan penjajah, lalu dari mana beliau bisa memiliki ratusan hektar tanah yang kemudian difungsikan sebagai perkebunan teh ini? Kemudian, bukan kah beliau saat itu berkuasa sebagai tuan tanah (land lord) pada era politik tanam paksa (cuulture stelsel)? Yang lupa apa itu cuulture stelsel, buka tuh buku sejarah! Ciee... yang saban hari kerjanya baca buku pelajaran, ngalah2in penjaga perpustakaan kampus... **lirik lisa dan jul** Tapi detik itu saya gak berani menyanggahnya, selain takut si bapak penjaga makam marah, saya juga gak kepengen kalo Mr. Bosscha yang sedang istirahat kemudian 'terbangun' dan murka pada saya. :p

____aya dan finda, minus adel____

Oia, perjalanan kali ini memang tanpa Adel karena Adel harus lebih dahulu kembali ke sekolahnya meski liburan kenaikan masih berjalan untuk latihan pemantapan menjelang turnamen grand prix marching band pada bulan desember 2012 nanti.

Satu hal yang menurut saya menarik di perkebunan teh ini, yaitu terdapat bangunan kuno jaman kolonial yang berdiri dalam satu areal penginapan. Menurut pegawai penginapan, rumah tersebut merupakan rumah dimana K.A.R Bosscha dahulu pernah tinggal. Dan saya sangat bersyukur karena berkesempatan bisa masuk dan melihat dari dekat rumah yang pernah menjadi tempat tinggal K.A.R Bosscha, sang tuan tanah.







Tau kenapa ya.... saya tuh cintaaaaa banget dengan rumah2 bergaya kuno kaya' begini. Yaudah deh, gak pake nunggu lama2...yuk, yuk! mari masuk... kita liat dalemnya seperti apa. :)




____super duper nyaman! so light and open____

Duh! semuanya masih rapi dan terawat dengan baik. Tak ada sedikit pun aroma usang yang saya cium di dalam rumah yang usianya sudah tua ini. Hmm... saya jadi bisa ngebayangin gimana keluarga Bosscha duduk ngobrol sambil minum teh sore2 di ruangan ini. Ah.... i definitely wanna live here Huhuhuuu.... :D


Masih di ruang duduk, terdapat sebuah piano yang diletakan di pojok ruangan dekat pintu masuk. Dan begitu saya coba, piano tersebut masih berfungi dengan baik. Bahkan tak ada satu tuts pun yang tidak bernada. Padahal tercantum disana bahwa piano ini buatan tahun 1837.


____mungkin ruang ini dulu difungsikan sebagai ruang makan_____


____sebuah bar yang dahulu pasti berfungi sekali oleh Bosscha____

Dari rumah utama, saya berjalan hingga menuju ruangan yang letaknya di belakang rumah ini. Terdapat sebuah ruangan yang fungsinya seperti dapur dan di pojokan dapur saya melihat ada sebuah tangga yang arahnya menuju ke bawah tanah. Mungkin tempat ini difungsikan sebagai bunker.


Seperti beberapa kamar tidur yang ada di ruangan utama, ruangan bawah tanah ini juga saya enggan untuk memasukinya. Bukannya apa2, tadi saat di makam, saya sempet denger cerita2 mistis tentang Mr. Bosscha yang sesekali masih suka menampakan diri setiap senin malam untuk mengawasi perkebunannya dan juga suara ketukan tongkatnya sesekali masih sering terdengar dari dalam rumahnya. Iihh.... ngeri, booo....! Untung aja Adel gak ngikut.



Ada yang unik, nih! Di dapur saya menemukan sebuah filter air yang ketika saya pegang terasa agak sedikit panas namun begitu saya tuang airnya ke dalam gelas lalu meminumnya, hmm... rasa airnya sejuk. Gak hangat apalagi panas.

Begitulah cerita jalan2 saya kali ini. Oia, yang masih penasaran apa hubungannya observatorium Bosscha di Lembang dengan perkebunan teh Malabar ini yaitu karena K.A.R Bosscha merupakan penyumbang dana terbesar untuk pembangunan observatorium maka kemudian nama Bosscha diabadikan sebagai nama observatorium tersebut. Namun sayangnya, Bosscha sendiri bahkan tak sempat merasakan observatorium tersebut pasca pembangunannya karena beliau kemudian wafat diusia 63 tahun.

0 komentar:

Web Statistics